Mohon tunggu...
Alfi Syakila
Alfi Syakila Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Nature

Terumbu Karang dan Perubahan Iklim

20 Mei 2018   21:29 Diperbarui: 20 Mei 2018   21:44 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Terumbu Karang yang diperingati setiap tanggal 8 Mei baru saja lewat. Berselang tiga hari setelah peringatan tersebut, sebuah harian nasional memuat berita mengenai kerusakan terumbu karang seluas 1.020 meter persegi di sekitar Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Kerusakan itu terjadi karena kapal kargo Ghanda Nusantara 15 terdampar setelah terseret arus dan sedikitnya diperlukan 20 tahun agar terumbu karang itu pulih1.

Kejadian tersebut sebenarnya merupakan sedikit kejadian yang tercatat mengenai rusaknya terumbu karang di Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kapal pesiar dengan bendera Inggris menghancurkan terumbu karang di Raja Ampat. Terumbu karang seluas 13.000 m2 hancur, dan sedikitnya dibutuhkan 50- 100 tahun untuk pulih seperti sedia kala2.

Sampai saat ini, data mengenai rusaknya terumbu karang akibat kegiatan manusia tidak tercatat dengan baik. Sebenarnya, tanpa campur tangan manusia yang secara langsung merusak, terumbu karang sendiri kelangsungannya sudah terancam karena perubahan iklim.

Pembentukan terumbu karang

Bagaimana sebenarnya terumbu karang terbentuk? Mengapa dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk pulih?

Fase pertema pembentukan terumbu karang adalah larva karang (coral larvae) yang menempel di bebatuan atau tanah di sekitar pantai. Larva tersebut kemudian menjadi polip dan mengekskresikan kalsium karbonat, yang menjadi bahan dasar untuk terbentuknya eksoskeleton. 

Polip ini hanya dapat hidup di air yang mempunyai cukup paparan matahari sehingga Indonesia mempunyai kekyaaan terumbu karang. Selain itu, polip tersebut membentuk symbiosis dengan alga, yang membantu mereka untuk tumbuh. 

Dengan demikian, semakin banyak karbonat yang dihasilkan untuk tumbuh. Tersedianya kalsium karbonat di bebatuan ini menyediakan substrat bagi terbentuknya polip, yang pada akhirnya membentuk terumbu karang3.

Indonesia termasuk salah satu negara yang mempunyai kekayaan terumbu karang luar biasa, dan tercatat sebagai anggota dari Coral Triangle Initiative bersama Malaysia, Papua New Guinea, Philippines, Solomon Islands dan Timor Leste. 

Keenam negara ini sepakat untuk bekerjasama secara regional di tahun 2007, yang lebih dikenal dengan Coral Triangle Initiative, untuk melindungi keanekaragaman terumbu karang.

 Rencana nasional disusun mengacu pada kesepakatan regional tersebut yang disusun di tahun 2009 yang bertujuan untuk menjaga ekosistem laut di area tersebut. Sebagai tambahan pendapatan dari segi wisata/ tourist, terumbu karang juga merupakan sumber protein bagi masyarakat lokal dan juga melindungi daerah lepas pantai4.

Terumbu karang dan asidifikasi

Persoalan saat ini yang juga menjadi penting adalah asidifikasi lautan, akibat meningkatnya kadar asam di laut. Hal ini bisa terjadi karena laut menyerap sekitar 25 persen dari emisi CO2 yang berada di udara. Emisi gas rumah kaca ini tidak terlepas dari aktifitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil. CO2 tersebut bereaksi dengan air laut untuk membentuk asam lemah (asam karbonat, H2CO3). 

Reaksi ini membuat kemampuan untuk reaksi pembentukan terumbu karang terhambat, juga organisme lainnya seperti udang, kerang, dan beberapa fitoplankton. Hal itu membuat spesies-spesies tersebut terhambat untuk melakukan reproduksi, dan pada beberapa titik, tingginya keasaman membuat beberapa koral mengalami pelarutan dan juga lapisan karang dari spesies di lautan5.

Dampak dari asidifikasi dan degradasi spesies di lautan akan menimbulkan efek yang membahayakan bagi keseimbangan keanekaragaman hayati di lautan dan juga jaring makanan yang tergantung dari keberadaan mereka. 

Disebutkan bahwa dalam sebuah studi di tahun 2013, terjadi peningkatan asidifikasi di lautan sekitar 26 persen, dibandingkan dengan tahun 1800, dengan daerah tertinggi yang mengalami hal tersebut berada di air dingin sekitar kutub dan pantai barat Amerika Serikat. Diperkirakan pada tahun 2100, tingkat asidifikasi akan menjadi 170 persen lebih tinggi dibandingkan tahun 1800 kecuali kita melakukan langkah yang revolusioner dalam menurunkan emisi CO25.

Asidifikasi yang terjadi di lautan merupakan persoalan yang harus dicermati mengingat hal itu dapat mengurangi keanekaragaman hayati di lautan Indonesia.

Daftar Pustaka: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun