Mohon tunggu...
alfeus Jebabun
alfeus Jebabun Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara

Alfeus Jebabun, Advokat (Pengacara), memiliki keahlian dalam bidang Hukum Administrasi Negara. Alfeus bisa dihubungi melalui email alfeus.jebabun@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perma Gugatan Sederhana: Domisili Hukum

29 Oktober 2020   10:47 Diperbarui: 29 Oktober 2020   12:36 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apakah Kalian pernah mendengar kata gugatan sederhana? Atau mungkin kalian malah pernah berperkara di pengadilan memakai mekanisme gugatan sederhana? Baguslah kalau sudah pernah mendengar atau bahkan pernah menerapkannya dalam menyelesaikan permasalahan kalian.

Saya berterimakasih kalau sudah pernah memakainya. Sebagai orang yang turut membidani aturan tersebut, saya ikut bahagia. Apabila sangat membantu menyelesaikan persoalan anda, saya pun senang, karena kerja keras kami bisa meringankan beban orang lain. Semua orang memang harus tahu tentang aturan itu, biar tidak takut lagi menggugat orang di pengadilan.

Tetapi bagi yang belum tahu, boleh loh menanya mbah google atau membaca sampai selesai celotehan saya ini. Bahkan untuk yang sudah tahu sekalipun, boleh juga membaca sampai selesai, siapa tau ada informasi tambahan yang kalian belum dapat. Dalam tulisan ini, saya mau menceritakan perdebatan waktu merumuskan aturan tersebut. Tentu tidak semua, karena tidak akan cukup waktu, selain melelahkan untuk diketik. Mungkin suatu saat saya akan membuatnya berseri. Namun kali ini, saya hanya mau menyajikan perdebatan kenapa ada ketentuan "para pihak harus berdomisili dalam satu wilayah hukum."

Sebelum berbicara lebih jauh, saya mau menceritakan sedikit latar belakang regulasi itu lahir. Peraturan itu lahir tidak terlepas dari semangat Mahkamah Agung (MA) membantu pemerintah dalam menegakkan hukum kontrak di Indonesia. Dalam pandangan Bank Dunia, salah satu penghambat masuknya investor asing ke Indonesia adalah karena system hukum penegakan kontraknya sangat berbelit.

"Jual sapi untuk mendapatkan kambing', begitulah kira-kira istilah yang sering didengar. Artinya, piutang cuma Rp 100 juta, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan Kembali uang itu kalau diurus melalui pengadilan bisa mencapai Rp 200 juta, karena harus biaya pengacara. Dan, waktu yang ditempuh tidak jelas. Bisa setengah tahun. Bisa setahun. Bisa dua tahun, bahkan bertahun-tahun, karena prosesnya sampai ke MA.

Pemerintah awalnya mau membentuk undang-undang hukum acara perdata. Namun, itu akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Boro-boro membahas UU hukum acara perdata. KUHP dan KUHAP yang sudah lama dibahas saja belum kelar sampai sekarang. Nah, untuk menutup kekosongan itu, MA berinisiatif membantu sesuai kemampuannya, lantas mencetuskan ide menyederhanakan proses berperkara kasus perdata di pengadilan. Jangka waktu penyelesaiannya juga harus diatur biar ada kepastian. Namun, tentu tidak semua kasus perdata cocok melalui mekanisme itu.

Maka, dibuatlah penelitian untuk mencari mekanisme apa yang cocok. MA menggandeng Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) untuk membuat kajian awal. Kebetulan saya terlibat mewakili LeIP.

Singkat kata, berdasarkan hasil penelitian kami waktu itu, kami mengusulkan mekanisme gugatan sederhana. Kami mengambil semangan mekanisme yang sama yang sudah lama diterapkan di negara lain, seperti Belanda, Amerika, Australia, dan banyak negara lainnya. Di negara-negara itu, mekanisme gugatan sederhana dimaksud lebih dikenal dengan sebutan small claim court. 

Di sana ada pengadilan khusus yang menangani sengketa-sengketa sederhana yang nilai kerugiannya sangat kecil. Nilainya berbeda-beda tiap negara. Kami waktu itu tidak mebuat pilihan untuk membentuk pengadilan khusus, karena tidak sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Kami akhirnya hanya mengusulkan untuk menyederhanakan proses yang ada dalam  Herzien Inlandsch Reglement (HIR), aturan yang selama ini menjadi pedoman menyelesaikan perkara perdata di Indonesia, yang berlaku sejak zaman kolonial.

Salah satu kelemahan yang kami temui, dan hampir semua yang belajar hukum ketahui, bahwa dalam HIR itu tidak ditentukan batas waktu menyelesaikan satu perkara. Sehingga, tidak heran jika menyelesaikan satu kasus bisa berlarut-larut, bisa bertahun-tahun. Lebih parah lagi, ketiadaan waktu yang pasti ini menjadi salah satu peluang terjadinya praktik tidak terpuji di pengadilan, seperti korupsi. Kok bisa?

Begini. Saya berhutang kepada si A. Nilainya sangat besar. Sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian, saya belum mampu membayar. Saya ingkar janji. Untuk menagih uangnya, A mengajukan gugatan ke pengajilan. Untuk mengulur waktu penyelesaian perkara, saya bermain di belakang layer. Saya kasi uang ke petugas di pengadilan agar kasusnya diendapkan dulu, atau diberi nomor pendaftaran (register) yang besar. Kalian tau, penyelesaian kasus di pengadilan itu dilakukan berdasarkan nomor register. Semakin kecil nomornya, kasus itu akan lebih diutamakan penyelesaiannya. Itu hanya gambaran sederhana.

Kita Kembali ke gugatan sederhana tadi. Demi mencegah korupsi dan adanya kejelasan waktu menyelesaikan perkara, kami mendorong agar dalam aturan itu nanti diatur mengenai jangka waktu menyelesaikan perkara. Sejalan dengan itu, mekanismenya juga dipangkas. Mediasi tetap ada, tetapi tidak mengikuti waktu yang diatur dalam peraturan tentang mediasi. Sidang pembacaan replik, duplik, kesimpulan ditiadakan.[1]

Dengan adanya batasan waktu, maka pasti ada konsekuensi lain yaitu perkara yang ditangani hanya bisa diterapkan pada kasus sederhana. indikator sederhana tidaknya suatu kasus dapat dilihat dari proses pembuktian. Indikator sederhana yang untuk melihat rumit tidaknya pembuktian, dapat dilihat dari besar kecilnya kerugian yang dialami penggugat.

Penelitian kami menunjukan, semakin besar nilai kerugian makin sulit juga segi pembuktiannya. Untuk itu, perlu diadakan pembatasan nilai maksimal kerugian yang hanya boleh diajukan melalui mekanis gugatan sederhana. di negara lain juga ketentuan nilai ini diatur secara ketat. Dalam konteks Indonesia, patokan kami untuk menentukan nilai gugatan adalah dari segi pendapatan rata-rata  (gross domestic product-GDP) orang Indonesia. Oleh karena hanya kasus sederhana yang bisa diatur, maka penyelesaiannya tidak perlu sampai ke Mahkamah Agung, tetapi cukup selesai di pengadilan negeri atau pengadilan tinggi. 

 Semua hasil penelitian itu kami tuangkan dalam naskah akademik dengan kesimpulan terkahir agar dalam jangka pendek, MA membuat peraturan MA (Perma) mengenai gugatan sederhana. sedangkan dalam jangka Panjang, DPR dan pemerintah memasukkan ketentuan itu dalam undang-undang hukum acara perdata. MA merespon dengan cepat.

Pada Tahun 2015, MA menerbitkan Perma Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Dalam Perm aitu, batas maksimal nilai kerugian untuk dikatakan sebagai nilai gugatan sederhana adalah sebesar Rp 200 juta rupiah (Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3). Kasus tanah tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme gugatan sederhana ini. Sebab, berdasarkan penelitian kami terhadap banyak putusan MA, proses pembuktian kasus tanah hampir-hampir tidak ada yang pembuktiannya sederhana. Jangka waktu untuk menyelesaikan sengketa gugatan sederhana hanya dua puluh lima hari kerja.

 Dalam aturan ini juga diatur bahwa pihak yang berpekara hanya satu lawan satu (Pasal 4 ayat (1). Artinya, dalam satu perkara hanya boleh ada satu penggugat dan satu tergugat. Boleh lebih, asalkan memiliki kepentingan hukum yang sama. Mengapa demikian? Apa itu kepentingan hukum yang sama? Tidak ada penjelasan dalam Perma.

Dalam proses pembahasan, pengecualian ini muncul karena ada kasus utang piutan jual beli rumah antara bank dengan nasabah yang sudah menikah. Dalam akta perjanjian, hanya tercantum Bank dengan suami. Ketika terjadi wanprestasi, bank bisa menggugat suami maupun istri, karena suami istri itu memiliki kepentingan hukum yang sama.

Satu hal yang menarik yang menjadi inti celotehan saya yang cukup panjang ini adalah mengenai klausul yang mengatur para pihak yang berperkara harus berdomisili pada wilayah hukum pengadilan negeri yang sama. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 ayat (3), yang bunyi lengkapnya begini: "Penggugat dan tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di daerah hukum pengadilan yang sama."

Pada waktu pembahasan, pasal ini muncul karena salah satu penyebab lamanya proses penyelesaian perkara, menurut para peserta rapat yang mayoritas berprofesi hakim, yaitu adanya panggilan delegasi. Gambaran panggilan delegasi ini kira-kira begini: Bento yang tinggal di Cawan-Jakarta Timur Menggugat Desta yang tinggal di Muara Angke-Jakarta Utara atas kasus utang piutang.

Dalam perjanjian, mereka sudah memilih Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat untuk menyelesaikan sengketa kalau sewaktu-waktu ada yang melanggar perjanjian. Dalam perkara perdata biasa (bukan gugatan sederhana), PN Jakarta Pusat yang mengadili kasus Bento melawan Desta akan memanggil mereka melalui pengadilan negeri yang di wilayahnya mereka. Bento akan dipanggil oleh PN Jakarta Pusat melalui PN Jakarta Timur. Demikian juga Desta akan dipanggil melalui PN Jakarta Utara. Waktu yang dibutuh melakukan pemanggilan delegasi rata-rata sebulan.

 Kasus Bento dan Desta ini tidak bisa diselesaikan melalui gugatan sederhana, karena mereka berdomisili pada wilayah hukum yang berbeda. Padahal, nilai utang piutang hanya Rp 15 juta rupiah. Pembuktiannya sangat sederhanya, hanya perjanjian dan bukti transfer.

 Saya juga memiliki kasus lain yang tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme gugatan sederhana. kami sudah mengupayakan dengan menerangkan dengan berbagai dasar hukum. Namun, hakim yang menangani kasus kami itu tetap menolak. Kasusnya begini: klien kami telah menandatangi akad kredit rumah. Dalam perjanian tidak ditentukan kapan rumah itu serah terima.

Satu tahun lebih pasca tanda tangan akad, belum ada tanda-tanda pembangunan di lokasi yang diatur dalam perjanjian. Klien kami hendak mengajukan gugatan karena developer telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu undang-undang perlindungan konsumen dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah (Permen PUPR 11/2019). Klien kami tinggal di Bekasi (Jawa Barat), sedangkan kantor developer beralamat di Kelapa Gading (Jakarta Utara).

 Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur, bila ada sengketa konsumen, maka penyelesaiannya bisa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau melaui pengadilan tempat konsumen berdomisili, dalam kasus klien kami ini, seharusnya di Bekasi. Dalam perjanjian juga para pihak sepakat untuk menyelesaikan di PN Bekasi kalau ada sengketa mengenai perjanjian. Namun, permohonan kami untuk menyelesaikan kasus ini melalui mekanisme gugatan sederhana ditolak mentah-mentah oleh hakim.

Ada dua alasan hukum yang dipakai hakim untuk menolak permohonan kami ini. Pertama, hakim berpendapat, karena kami memakai dalil sengketa konsumen, maka kasus kami ini dikecualikan dari kasus gugatan sederhana karena termasuk kasus yang harus diselesaikan melalui pengadilan khusus sebagai diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Perma Gugatan Sederhana. Kedua, permohonan ditolak karena Penggugat dan Tergugat berada di wilayah hukum PN yang berbeda.

 Menurut saya, pertimbangan hakim itu keliru. Mengenai pertimbangan pertama, hakimnya terlihat tidak teliti membaca undang-undang perlindungan konsumen dan Pasal 3 ayat (2) Perma Gugatan Sederhana. Undang-undang perlindungan konsumen tidak mengatur kewajiban menyelesaikan sengketa konsumen melalui pengadilan khusus, lagi pula di Indonesia belum ada pengadilan khusus untuk menyelesaikan sengketa konsumen. BPSK itu bukan pengadilan khusus, tetapi Lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Undang-undang perlindungan konsumen hanya mengatur pilihan tempat menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu bisa menyelesaikan di luar pengadilan (salah satunya bisa melalui BPSK) atau melalui pengadilan.

Kata "atau" sengaja saya tegaskan (bold) karena undang-undangnya memang demikian.[2] Kita semua tau kalau kata "atau" memberi arti "pilihan". Tidak wajib. Beda halnya kalau undang-undang memakai kata "dan", seperti BPSK dan pengadilan. Dalam konteks terakhir, prosedurnya beda, bukan pilihan lagi, tetapi "harus". Dengan menggunakan kata "atau" konsumen dan/atau pelaku usaha dapat memilih menyelesaikan melalui pengadilan atau diluat pengadilan. 

 Hakim juga keliru atau tidak teliti membaca Pasal 3 ayat (2) Perma Gugatan Sederhana. regulasi itu mengatur: "(2) Tidak termasuk gugatan sederhana adalah: perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan." Tidak ada pengadilan khusus untuk sengketa konsumen. BPSK itu bukan pengadilan khusus. 

Kasus-kasus jual beli rumah ini pun tidak bisa diselesaikan melalui BPSK, jika merujuk pada putusan-putusan MA sendiri, karena bukan merupakan sengketa konsumen. Yurisprudensi 1/Yur/Perkons/2018 menegaskan: "Sengketa yang timbul dari perjanjian pembiayaan dan kredit baik dengan hak tanggungan maupun fidusia tidak tunduk pada UU Perlindungan Konsumen sehingga bukan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen."

 Pertimbangan hukum kedua, hakim tidak teliti membaca dalil kami mengenai kompetensi pengadilan. Kami mendasarkan gugatan menggunakan UU Perlindungan konsumen dan bunyi perjanjian yang mana para pihak memilih wilayah hukum PN Bekasi untuk menyelesaikan perselisihan. Apabila para pihak sudah memilih tempat penyelesaian sengketa, dan syarat-syarat lainnya terpenuhii sebagai gugatan sederhana, hakim seharusnya membuat terobosan dengan pembatasan.

Pembatasannya adalah sepanjang para pihak memiliki alamat domisili elektronik (email), maka berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (Perma e-court), perbedaan domisili hukum para pihak seharunya tidak menjadi hambatan. Kasus seperti yang klien kami alami seharusnya bisa diadili menggunakan mekanisme gugatan sederhana. 

Perma 2 Tahun 2015 telah diubah melalui Perma No. 4 Tahun 2019. Ketentuan mengenai domisili ini termasuk salah satu yang diubah. Namun, Perma terbaru ini tetap mengakomodasi panggilan delegasi sehingga tetap menyaratkan para pihak harus berada dalam wilayah hukum yang sama. Apa sih esensi dari panggilan delegasi ini? Apakah panggilan delegasi ini masih relevan di tengah zaman yang serba elektronik? Bagi saya, sejauh para pihak memiliki alamat domisili elektronik, dan semua syarat gugatan sederhana (nilai kerugian dan pembuktian) terpenuhi, maka seharusnya kasus itu bisa diselesaikan melalui mekanisme gugatan sederhana.

Saya masih ingat betul kenapa ketentuan "satu wilayah hukum" ini masih diakomodasi, karena waktu itu Perma e-court belum selesai dibahas. Perubahan hanya bisa dilakukan jika hakimnya berani membuat terobosan, tentu dengan pembatasan seperti yang saya jelaskan di atas. Dan, pemanggilan delegasi ini sudah tidak relevan lagi diterapkan. Harus diubah. Panggilan bisa langsung dilakukan oleh pengadilan yang mengadili perkara kepada para pihak. Kalaupun mau menghargai pengadilan tempat domisili hukum para pihak, cukup berupa pemberitahuan saja atau tembusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun