Mohon tunggu...
Alfaro Rico
Alfaro Rico Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mahasiswa || Penggiat Aksara || Pecandu Buku || Bisa di hubungi di alfaromohrec@gmail.co

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Revitalisasi Paradigma, "Menjadi Petani Milenial Keren Berkemajuan"

3 Mei 2019   13:00 Diperbarui: 3 Mei 2019   13:08 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://wallpapercave.com/ 

Indonesia, negara yang terkenal dengan sebutan "Agraris" karena mayoritas penduduk memiliki mata pencaharian pada sektor pertanian. Tetapi dengan julukan tersebut, lantas mengapa belakangan ini bidang pertanian di Indonesia justru belum mampu mengungguli negara-negara lainnya? malah juga ada banyak ancaman yang menjelaskan Indonesia krisis regenerasi petani.

Belanda yang luas wilayahnya tidak lebih luas dibandingkan Provinsi Jawa Timur mampu tampil menjadi negara pengekspor produk pertanian nomor dua di dunia. Amerika Serikat, Jepang, dan China adalah negara-negara besar lain yang unggul dalam sektor pertanian. Tentu hal itu memang tidak lepas dari peran pemerintahan yang bersungguh-sungguh dalam mengembangkan pertanian.

Bagaimanapun ada banyak urgensi yang sebenarnya terjadi pada pertanian Indonesia. Mulai dari kekeliruan sudut pandang, yang menganggap bahwa pedesaan hanyalah tempat yang didominasi oleh lahan sawah dan perkebunan saja, jelas tidak akan bisa maju. Maka pedesaan perlu direkontruksi menjadi perkotaan dengan meningkatkan corak industri dan jasa, agar pedesaan lebih maju.

Stigma tersebut yang akhirnya membuat banyak daerah-daerah di negara ini kehilangan lahan sawah dan perkebunannya. Semua dilandas menjadi bangunan-bangunan tinggi, perumahan, juga pabrik-pabrik raksasa tentunya. Seolah bidang industri merasa cukup dan mampu untuk meraup keuntungan ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan mengandalkan sektor pertanian.

Padahal pertanian tidak bisa tergantikan. Jelas pangan adalah kebutuhan utama manusia. Negara tanpa sistem pertanian yang baik akan selalu tergantung kepada negara lain. Jika habis sudah lahan pertanian di Indonesia, hal terburuk yang akan terjadi adalah semua bahan pangan kita akan membeli impor dari luar negeri. Apalagi Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Tanahnya subur, tapi ironis pertaniannya malah tidak lebih baik dari negara tetangganya. Sudah banyak kata sindiran ditulis, namun hampir menginjak usia tujuh puluh empat tahun merdeka, pertanian tidak banyak berubah. Sistem mengolah, menanam, sampai memanen seperti berjalan di tempat.

Dengan stigma tersebut, maka sangat berpengaruh juga untuk regenerasi petani di Indoensia. Juga stigma tersebut jelas dengan perlahan akan membentuk pula mindset kaum milenial yang beranggapan bahwa; menjadi buruh pabrik akan lebih baik daripada bertani. Toh tidak ada keren-kerennya menjadi petani yang kerjanya membawa cangkul dan sabit. Padahal jika melihat di Amerika petani sudah menenteng laptop dan pegangannya GPS, sudah tidak mengayunkan cangkul lagi. Tidak heran juga jika profesi ini semakin hari semakin ditinggalkan. Kebanyakan orang tua petani pun tidak ingin anaknya nanti berprofesi seperti mereka. Bagaimana regenerasi petani bisa terwujud lebih baik dan mampu dilakukan jika fakta di lapangan seperti itu?

Kita juga pasti jarang sekali mendengar ada anak yang bercita-cita menjadi petani. Pada umumnya mereka lebih banyak bercita-cita menjadi dokter, polisi, pengusaha, dan yang penting di kantor, tidak kotor. Kotor identik dengan keterbelakangan. Bahkan mahasiswa Jurusan Pertanian sekalipun ketika lulus, banyak yang akhirnya memilih menjadi karyawan.

Ini sudah menjadi tanda paling sederhana bahwa menjadi petani adalah sesuatu yang tidak pernah diharapkan. Kebanyakan petani adalah mereka yang telah "kalah" dalam persaingan bursa kerja lalu terpaksa menjadi petani daripada tidak bekerja. Akhirnya kualitas pertanian pun tidak pernah berkembang, karena ilmu yang dipakai tidak pernah diupgrade dan dipergunakan. Bertani hanya sekadar menyambung hidup. Mereka tidak berkeinginan untuk mencari dan melakukan cara lain yang lebih modern. Apalagi selama ini gambaran tentang petani adalah mereka dengan pendidikan rendah dan hidup di bawah garis kemiskinan.

Data memperlihatkan bahwa jumlah petani setiap tahunnya selalu menurun sekitar 1,1 persen, tanpa ada penambahan yang signifikan di kelompok usia muda. Data BPS dari hasil survei pertanian antarsensus 2018 menunjukkan hampir 70 persen petani adalah kelompok umur 45 tahun ke atas. Berkurangnya jumlah petani juga diikuti dengan luas lahan pertanian yang semakin menyusut setiap tahunnya karena alih fungsi.

Jika hanya mengandalkan upaya dan peran pemerintahan saja rasanya kurang cukup untuk membantu meningkatkan kualitas pertanian kita, pembentukan karakter dan merevitalisasi paradigma masyarakat menjadi kewajiban bagi kita juga. Bekerja dalam bidang pertanian bukanlah sesuatu yang identik dengan kegagalan. Menjadi petani bagi kaum elite milenial pun sebenarnya bisa menjadi kesuksesan yang besar, karena sekali lagi pangan adalah sesuatu yang akan selamanya dibutuhkan oleh manusia.

Sudah saatnya kita menghapuskan citra petani sebagai pekerjaan yang dekat dengan kemiskinan. Sebagai contoh lihatlah kisah Stewart dan Lynda Resnick. Mereka dalah petani-petani asal Amerika Serikat yang dikenal sebagai pasangan petani terkaya di dunia. Mereka memulai usaha pertanian tahun 1978 dengan membeli beberapa lahan yang awalnya dijadikan kebun jeruk.

Kemudian setelah berkembang, kekayaan Stewart dan Lynda Resnick didapat dari pengiriman bunga Teleflora yang mereka tanam dan panen sendiri. Lalu mereka pun meluaskan aset-aset dengan melakukan pembelian lahan-lahan pertanian saat terjadi kekeringan pada akhir tahun 1980-an. Usaha pertanian yang mereka kelola kian membesar di bawah bendera Paramount Farms. Dari usaha pertanian, kedua pasangan petani ini memperoleh kekayaan hingga US$ 3,9 miliar atau sekitar Rp 55 triliun.

Semuanya adalah tinggal bagaimana cara kita untuk mengolah dan meningkatkan kembali usaha dalam bidang pertanian, kita sudah diuntungkan dengan kepulauan di Indonesia yang terkenal kaya akan sumber daya alamnya. Sampai kapan kita hanya selalu membiarkan kekayaan alam tersebut dilandas dan direbut oleh pihak-pihak yang berambisi meningkatkan dunia industri, padahal dengan semakin banyaknya area industri, maka akan semakin meningkat pula jumlah polusi dan limbah-limbah yang justru akan mengancam kestabilan lingkungan kita.

Tak hanya untuk mengatasi tantangan yang sedemikian, revitalisasi paradigma dan peningkatan harus terus kita lakukan juga demi menambah raihan prestasi yang sudah diraih. Seperti beberapa waktu lalu di Bali, International Food Agriculture Development (IFAD) menjuluki Indonesia akan menjadi pilot regenerasi di dunia karena telah berhasil dalam hal regenerasi petani melalu teknologi pertanian. Tidak hanya it, melalui (IFAD), salah satu sumber pendanaan khusus untuk pertanian, Indonesia mendapat bantuan bertahap untuk pengembangan petani milenial yang rural dan agriculture senilai USD 50 juta mulai tahun ini selama tiga tahun karena menjadi percontohan dunia.

Juga Kementrian Pertanian, yang meraih penghargaan keterbukaan informasi publik serta penghargaan TOP IT dan dianugerahi pengharhaan sebagai kementerian Anti Gratifikasi terbaik. Kementan juga meraih penghargaan pengadaan barang terbaik, penghargaan penjaga ketahanan pangan, penghargaan pengarusutamaan gender, penghargaan pengelolaan arsip terbaik dan penghargaan manajemen kepegawaian terbaik. Padahal Andi Amran Sulaiman, mentri pertanian mengungkap bahwa anggaran pertanian dari 34 triliun di tahun 2015 menjadi 22 triliun di tahun 2016 sampai dengan 2018. "Ini membuktikan bila prestasi mampu diraih di tengah kondisi apa pun bila dibarengi dengan kencintaan dan kerja ikhlas di dalamnya," ungkapnya.

Dalam benak saya, sudah saatnya kita berbenah untuk memperbaiki dan terus meningkatkan lagi prestasi pada sektor pertanian agar berjaya lebih tinggi. Mulai dari lapisan elemen masyarakat manapun, juga perlu turut andil. Untuk para sarjana-sarjana dan mahasiswa pertanian, juga kaum para pemuda misalnya bisa memulai dengan membangun komunitas-komunitas kecil yang berarah gerak pada bidang pertanian, lalu bekerjasama menciptakan pertanian yang berkemajuan.

Beraksi dan bersolusi, bukan hanya sekedar diskusi mengkritisi pada masalah-masalah yang terjadi. Mari kita berkontribusi dan menjadi generasi petani keren yang berkemajuan. Pihak perguruan tinggi juga perlu untuk selalu menumbuhkan karakter mahasiswanya, dalam aspek kepedulian untuk mengatasi urgensi krisis regenerasi petani terutama.

Sudah saatnya pembelajaran juga sering-sering dilakukan dengan turun kelapangan, bukan sekadar menghafal teori-teori dan mengejar nilai. Indonesia tidak butuh angka, Indonesia butuh aksi nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun