Mohon tunggu...
Alfa Riezie
Alfa Riezie Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengarang yang suka ihi uhu

Muhammad Alfariezie, nama yang memiliki arti sebagai Kesatria Paling Mulia. Semua itu sudah ada yang mengatur. Siapakah dan di manakah sesuatu itu? Di dalam perasaan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Hitam Putih Mata Lelaki Beranjak Dewasa

11 Juni 2021   02:23 Diperbarui: 11 Juni 2021   02:29 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku langsung menengok ke arahnya. Terus terang aku takut. Tapi, sungguh penasaran.

Ternyata seorang kakek berada di belakangku. Kakek itu mengenakan pakaian khas petani. Baju kaos partai yang kotor dan celana dasar yang terdapat tanah merah adalah pakaiannya. Tapi, dia tidak membawa peralatan tani seperti cangkul atau arit.

"Kau mau ke sana? Tolong antarkan aku. Lelah sekali hari ini bekerja hingga malam. Banyak hama tikus," ujarnya yang langsung duduk di belakangku.

Dia sudah begitu dan aku tidak lagi bisa menolak. Kupasrahkan diri ini. Meski, sungguh, aku takut sekali. Tapi, terus terang dalam pikiranku tak sekali pun ada ketakutan bahwa orang yang di belakang itu adalah begal. Karena tak pernah ada kejadian kehilangan motor atau perampasan di kampung mau pun jalur tersebut.

"Berani sekali melewati jalan ini sendirian?" tanyanya.

"Hehe iya pak. Ada yang mesti kulakukan malam ini juga. Bahkan nanti aku harus kembali melalui jalan ini lagi," jawabku.

Tak ada terdengar jawaban darinya. Sesekali aku melihat ke spion. Beruntung tidak ada penampakan apapun. Orang itu masih sama seperti yang kulihat di awal. Namun, wajahnya tak jelas karena dia hanya merunduk dan ketutupan pundakku.
Kejadian yang amat membuat jantungku berdebar dan mulai berpikiran tentang peristiwa tukang ojek yang pingsan adalah ketika kami nyaris memasuki kebun-kebun pisang. Secara tak terduga, kakek itu memegang pundakku. Dingin jemarinya menembus kain kemejaku.

Seerr. Bulu kudugku terangkat.

Dia pun menepuk-nepuk pundakku. Mungkin, ingin aku menghentikan kendaraan. Tapi, sungguh aku tidak peduli dan sekata pun tak keluar dari mulut ini.

Aku langsung menambah laju kendaraan. Tapi, saat masuk kebun pisang, kendaraanku terasa lebih enteng. Seperti tidak sedang membonceng apa pun. Namun, saat kira-kira baru sepuluh meter melalui kebun pisang. Betapa aku terkejut, di sisi kananku ada pocong yang tegak berdiri.

Tinggi pocong itu sungguh lebih dari pohon pisang. Sekejap pandang. Pocong yang kepalanya terikat itu memandangku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun