PK punya visi: menyerang, menekan, mendominasi. Tapi visi tanpa fondasi hanya akan menjadi mimpi kosong. Permainan berbasis penguasaan bola (possession play) menuntut kecerdasan ruang, kecepatan membaca situasi, dan disiplin posisi --- tiga hal yang belum merata di tim ini. Akibatnya, sistemnya rapuh.
Kita sering melihat bentuk permainan yang cantik di 15 menit awal, lalu kehilangan arah di menit ke-70. Inilah tanda klasik dari sistem yang belum matang:
"Ketika ide lebih kuat dari struktur yang menopangnya maka akan lahir sebuah ketidakstabilan."
5. Belajar dari STY dan Luis Milla
Shin Tae-yong dan Luis Milla memahami satu hal yang dilupakan PK: tim bukan kanvas kosong.
STY jarang mengubah formasi. Ia percaya pada pola 3-4-2-1 yang sederhana tapi stabil.
Dengan sistem itu, Indonesia mampu menahan atau bahkan menumbangkan raksasa Asia --- Arab Saudi, Cina, Australia, hingga Korea di level usia muda.
Luis Milla pun serupa: ia membangun struktur berdasarkan realitas. Ia tahu kualitas pemainnya, dan menyesuaikan sistem dengan kemampuan yang ada. Ia tidak membawa dogma; ia membentuk harmoni. Itulah bedanya antara sistem yang hidup dan sistem yang dipaksakan.
Â
6. Idealisme Tanpa Realitas
Patrick Kluivert tidak salah bermimpi.
Ia hanya salah membaca tahap kesiapan timnya. Indonesia bukan Belanda, bukan Spanyol, dan belum menjadi Brasil. Sebelum bicara tentang gaya bermain, kita harus punya bentuk bermain. Sebelum bicara filosofi, kita harus punya fondasi. Dan sebelum bicara kemenangan besar, kita harus belajar bermain bersama dulu.