Artikel ini akan dibuka dengan sebuah kutipan: 'Sepak bola bukan hanya tentang keindahan gaya bermain, tapi tentang keberanian mengakui tahap kesiapan sebuah tim.'
Kadang pelatih datang dengan mimpi yang terlalu besar untuk ruangan sekecil ini. Patrick Kluivert datang ke Timnas Indonesia dengan bayangan yang indah: permainan atraktif, penuh umpan-umpan cepat, tekanan tinggi, dan kepercayaan diri tanpa batas.
Di kepalanya, mungkin tim ini bisa menjadi Brasil 2002 atau Spanyol 2010 versi Asia Tenggara. Tapi mimpi yang besar selalu membutuhkan fondasi yang lebih besar. Dan di situlah kesalahannya dimulai :
1. Kesalahan Menilai Level Tim Sendiri
Masalah utama PK bukan soal visi --- melainkan soal konteks. Ia mengira para pemainnya adalah grade S+: pemain yang bisa mengalir seperti air, mengandalkan insting dan kecerdasan alami tanpa banyak arahan.
Padahal, realitasnya tidak sesederhana itu.
Pemain-pemain Indonesia tidak merata kualitasnya:
Ada yang cepat berpikir tapi mudah panik.
Ada yang punya teknik bagus tapi belum matang membaca ruang.
Ada pula yang bermain dengan hati besar tapi kurang stabil dalam keputusan.
Dalam kondisi seperti itu, membiarkan tim bermain tanpa sistem ketat sama saja dengan melepas kapal di tengah badai tanpa kompas.
2. Bongkar Pasang yang Menghapus Identitas
Bongkar-pasang line-up adalah eksperimen yang sehat --- tapi hanya jika dilakukan di waktu yang tepat. Masalahnya, PK melakukannya di fase paling kritis: Round 4 kualifikasi, di mana yang dibutuhkan bukan variasi, tapi kestabilan.
Tanpa kontinuitas, chemistry hilang.
Tanpa chemistry, sistem tidak pernah hidup.Â
Setiap pertandingan terasa seperti debut baru, bukan kelanjutan dari rencana besar. Dan itulah tanda bahwa sistem belum punya akar.
3. Ketika Peran Tak Lagi Berfungsi
Mari lihat beberapa kasus nyata di lapangan:
Mang Ole, striker utama yang fit, tapi tidak jadi starter. Padahal ia tipe reference forward --- pemain yang bisa menahan bola, memberi waktu bagi tim naik, dan membuka ruang untuk sayap. Tanpa dia, serangan terasa kaku dan cepat putus.
Thom Haye, meski kini bermain di Liga 1, punya kecerdasan Eropa: tenang, terukur, dan tahu kapan harus memecah tempo. Ia pemain yang membuat sistem bekerja, bukan sebaliknya. Jika Haye dirasa terlalu lemah dalam dual 1v1, maka Palupessy harusnya menjadi tandem yang pas.
Yakob Sayuri, cepat dan eksplosif, tapi lebih efektif sebagai supersub. Ketika stamina lawan menurun, kecepatannya jadi pembunuh. Dipasang sejak awal, energi itu habis sebelum pertandingan hidup.
Sementara Nathan, Egy, dan Walsh --- tiga pemain yang sudah mencicipi atmosfer Piala Asia --- terbuang dari line up bahkan DSP. Mereka bukan cuma pemain, tapi penjaga kesinambungan sistem dari era sebelumnya. Mengabaikan mereka berarti menghapus kontinuitas itu.
Terlepas dari itu, mereka juga telah merasakan atmofser pertandingan yang menegangkan seperti malam tadi. Menyisihkan mereka adalah salah satu kesalahan paling vital, terlebih lagi jika melihat performa ketiga pemain ini yang sedang apik di klub.
 4. Sistem Tanpa Fondasi
PK punya visi: menyerang, menekan, mendominasi. Tapi visi tanpa fondasi hanya akan menjadi mimpi kosong. Permainan berbasis penguasaan bola (possession play) menuntut kecerdasan ruang, kecepatan membaca situasi, dan disiplin posisi --- tiga hal yang belum merata di tim ini. Akibatnya, sistemnya rapuh.
Kita sering melihat bentuk permainan yang cantik di 15 menit awal, lalu kehilangan arah di menit ke-70. Inilah tanda klasik dari sistem yang belum matang:
"Ketika ide lebih kuat dari struktur yang menopangnya maka akan lahir sebuah ketidakstabilan."
5. Belajar dari STY dan Luis Milla
Shin Tae-yong dan Luis Milla memahami satu hal yang dilupakan PK: tim bukan kanvas kosong.
STY jarang mengubah formasi. Ia percaya pada pola 3-4-2-1 yang sederhana tapi stabil.
Dengan sistem itu, Indonesia mampu menahan atau bahkan menumbangkan raksasa Asia --- Arab Saudi, Cina, Australia, hingga Korea di level usia muda.
Luis Milla pun serupa: ia membangun struktur berdasarkan realitas. Ia tahu kualitas pemainnya, dan menyesuaikan sistem dengan kemampuan yang ada. Ia tidak membawa dogma; ia membentuk harmoni. Itulah bedanya antara sistem yang hidup dan sistem yang dipaksakan.
Â
6. Idealisme Tanpa Realitas
Patrick Kluivert tidak salah bermimpi.
Ia hanya salah membaca tahap kesiapan timnya. Indonesia bukan Belanda, bukan Spanyol, dan belum menjadi Brasil. Sebelum bicara tentang gaya bermain, kita harus punya bentuk bermain. Sebelum bicara filosofi, kita harus punya fondasi. Dan sebelum bicara kemenangan besar, kita harus belajar bermain bersama dulu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI