Mohon tunggu...
Alfarabi Maulana
Alfarabi Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Asal Cirebon, tapi daerah Sunda. Nulis sana-sini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kata-kata sebagai Sumber Bahagia

3 Desember 2020   20:09 Diperbarui: 3 Desember 2020   20:27 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernahkah kamu mendapatkan kata terima kasih setelah melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang-orang di sekitarmu?

Contohnya, saat kamu ditanya tentang sebuah materi pelajaran oleh teman sekelas, kemudian dia mengatakan terima kasih dengan tulus kepadamu, apa yang kamu rasakan? Saya yakin minimal kamu akan bilang "Sama-sama" atau "Kembali kasih" sebagai wujud rasa senangmu juga.

Mengucapkan rasa syukur sekiranya sudah menjadi budaya umum bagi seorang manusia ketika ia mendapatkan kenikmatan. Bahkan ucapan syukur itu sendiri punya makna lebih dalam dari sekadar ekspresi kebahagiaan. Ucapan itu sendiri bisa menjadi sumber kebahagiaan bagi seseorang.

Selain ucapan terima kasih, kata-kata lain seperti sapaan selamat pagi, menanyakan kabar, dan selamat-selamat yang lain bisa menjadi sumber kebahagiaan sederhana bagi jiwa. Saya selalu merasa senang jika disapa ketika bertemu teman. Meskipun saya tidak terlalu suka basa-basi yang panjang lebar sampai berlembar-lembar, tapi saya selalu mencoba menyapa apabila bertemu seorang teman, atau minimal orang yang sering lewat depan rumah (walaupun nggak tahu namanya).

Kegiatan-kegiatan sederhana ini menurut saya perlu sekali diterapkan dalam setiap lingkup. Termasuk dalam dunia maya, tempat orang-orang berkomunikasi melalui tulisan. Pernah sekali saya menulis kata-kata kasar dengan maksud bergurau saja kepada teman baru. Namun ternyata apa yang saya sampaikan tidak tercapai karena perbedaan budaya dan kebiasaan. Ya. Saya yang terlalu kampungan.

Ketika sadar bahwa yang saya ucapkan itu salah, saya merasa sangat bersalah dan hubungan kami mulai buruk. Sangat sulit untuk memperbaiki hubungan yang sudah rusak. Mulai saat itu saya sangat berhati-hati dalam memilih ucapan.

Saat saya belajar bagaimana caranya berkomunikasi dengan kata-kata yang baik, ajaibnya itu menyenangkan ketika diaplikasikan. Ada rasa kesenangan tersendiri ketika mencoba menjaga perasaan lawan bicara. Selain itu, saya juga merasa tertantang untuk mencari kosakata dan susunan kalimat yang tepat untuk mengungkapkan pikiran.

Butuh waktu yang lama bagi saya pribadi untuk membiasakan bicara dengan baik. Setidaknya butuh waktu enam tahun, dan bahkan sampai sekarang masih dalam tahap abu-abu. Bahkan insiden terakhir yang paling pedih adalah terjadi miskomunikasi dengan dosen favorit. Dan itu mengerikan.

Berangkat dari modal bicara blak-blakan tanpa sense menginjak rem tepat waktu seperti saya memang akan sulit. Hal yang diperlukan adalah keberanian, sehingga ketika saya mencoba berbicara langsung untuk meluruskan kesalahpahaman, masalah selesai, dan selesai.

Lidah bisa lebih tajam daripada pedang

Begitu dalam makna kata-kata, sampai-sampai diibaratkan bahwa rasa sakit akibat perkataan itu lebih menyakitkan daripada luka yang terbuka karena irisan benda tajam. Hal ini memang benar, karena luka bisa diobati atau tertutup secara alami sehingga rasa sakitnya akan hilang secara berangsur. Namun sakit akibat perkataan, meskipun bisa sembuh ketika saling memaafkan, lukanya bisa terus terbuka oleh ingatan. Karena hal itu ada istilah bahwa kata-kata tidak bisa ditarik kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun