Mohon tunggu...
Alex Palit
Alex Palit Mohon Tunggu... Jurnalis - jurnalis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Membaca Ulang Buku "Surat Untuk Sahabat" Prabowo Subianto

25 Juli 2023   00:25 Diperbarui: 25 Juli 2023   00:50 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dok. Alex Palit

Setelah berselang 10 tahun, saya kembali diingatkan pada buku pemberian Prabowo Subianto berjudul "Surat Untuk Sahabat", terbitan tahun 2013.

Buku ini saya anggap sangat menarik, karena didalamnya banyak menyebut kutipan-kutipan pitutur adi luhur kearifan lokal budaya Jawa yang sarat filosofis.

Filosofi kearifan lokal budaya Jawa ini acapkali dipakai Prabowo sebagai jawaban atas keyakinannya seperti yang sering ia kutip; ojo dumeh, ojo adigang adigung adiguno, ojo lali, ojo kagetan, ojo rumangsa iso, ning iso rumangsa sampai becik ketitik ala ketara.

Prabowo juga mengutip ucapan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln: You can fool some of the people all of the time, and all of the people some of the time, but you can't fool all of the people all of the time.

Pesan yang ia tulis 10 tahun lalu di buku "Surat Untuk Sahabat" diterbitkan jelang Pilpres 2014 ini mengingatkan agar ojo dumeh dan senantiasa mawas diri, eling lan waspada, khususnya untuk seorang pemimpin.


1. Ojo Dumeh

Secara harafiah, makna kata ojo dumeh memiliki arti bahwa hendaknya kita sebagai manusia jangan sok merasa paling hebat, paling digdaya. Pesan ini mengajarkan dan mengingatkan kepada kita semua -- terutama diperuntukkan bagi seorang pemimpin, pejabat atau elit politik -- untuk tidak mentang-mentang, lupa diri dan lupa daratan terbuai mabuk kepayang oleh kekuasaan sedang digenggamnya, sehingga merasa menjadikan dirinya sebagai orang paling digdaya.

Mentang-mentang berkuasa maka yang bersangkutan kemudian menjadi sewenang-wenang menurut caranya sendiri, bahkan suka cawe-cawe untuk kepentingan pragmatis dirinya sendiri.

2. Ojo Lali

Pesan ini mengajarkan dan sekaligus sebagai pengingat buat kita semua -- utamanya bagi seorang pemimpin -- untuk tidak lupa diri. Tidak lupa diri asal usulnya, lupa atau melupakan dari mana berasal dan bertumbuh, kacang lali kulite.

Misalkan seperti dicontohkan, bagaimana seseorang yang mulanya bukan siapa-siapa, kemudian berkat dukungan seorang, menjadi orang sukses dan terkenal atas jabatan yang diraih dan digenggamnya. Tapi kemudian ia lupa atau melupakan orang yang telah mengantarnya ke jenjang kesuksesan tersebut. Termasuk melupakan dan mengabaikan komitmen apa yang diucapkan, tanpa beban. Bahkan kalau bisa orang yang pernah membantunya itu disingkirkan. Ambisi hasrat kuasa membuat orang lupa diri asal usulnya, kacang lali kulite.

3. Ojo Kagetan

Inti dari filosofi ojo kagetan ini mengajarkan pada kita untuk senantiasa eling lan waspada, tidak hilang kendali diri. Dan itu banyak kita saksikan di panggung politik.

Bagaimana seseorang yang berhasil mewujudkan hasrat politiknya kemudian lupa diri, hilang kendali diri, terbuai hasrat kuasa yang digenggamnya. Di mana kekuasaan itu sebagai amanah untuk mensejahterakan rakyat, kemudian ia manfaatkan sebagai aji mumpung. Mumpung sedang berkuasa.

             

4. Ojo Adigang Adigung Adiguna

Filosofi ojo adigang adigung adiguna mengajarkan bahwa manusia tidak boleh mentang-mentang dirinya paling hebat, paling digdaya. Pesan ini juga mengingatkan seorang pemimpin untuk tidak menjadi lupa diri, merasa paling bisa, tetapi sebenarnya tidak bisa apa-apa. Ada kita temui, untuk menutupi kelemahan dirinya yang sejatinya tidak tahu dan tidak bisa apa-apa yaitu dengan bersikap adigang adigung adiguna. Semua itu ia lakukan untuk menutupi kelemahan dirinya.

5. Ojo Rumangsa Iso, Ning Iso Rumangsa

Intinya mengajarkan agar tidak menjadi orang yang lupa diri, sok tahu, sok keminter, padahal tidak tahu apa-apa, misalnya dalam mengambil kebijakan yang tidak sesuai sehingga menimbulkan kerugian yang semestinya tidak terjadi.

Begitu halnya dalam ucapan. Di mana seorang pemimpin yang dipegang adalah omongannya untuk digugu lan ditiru sebagai suri tauladan. Termasuk satunya kata dengan perbuatan, tidak mencla-mencle, bukan pagi tempe sore kedelai. Ucapan seorang pemimpin itu adalah sabda pandita ratu tan wolak-walik.

6. Mikul Dhuwur Mendem Jero

Dalam perspektif politik, filosofi mikul dhuwur mendem jero hendaknya tidak selalu usrek pada masa lalu, mencari kesalahan atau suka menyalahkan orang lain sebagai kambing hitam, dengan membandingkan dirinya lebih baik dan lebih hebat dari kepemimpinan sebelumnya. Inti dari mikul dhuwur mendhem jero, kubur yang tidak baik, angkat yang baik atas segala jasanya.

Kita lebih gampang mencaci, memaki, menghujat dan mencari kesalahan dan mempersalahkan orang lain walau hanya didasari prasangka tanpa dukungan fakta dan bukti sekalipun. Dicari jeleknya buat dicaci, dihujat dan dipersalahkan, sebaliknya baiknya tidak dipujikan.  

7. Becik Ketitik Ala Ketara

Filosofi becik ketitik ala ketara, di mana kebaikan dan kebenaran akan dinyatakan, sedang segala kebusukan, kejahatan dan kemunafikan akan tersingkap, terungkap, terbongkar dan tertelanjangi dengan sendirinya, sunatullah, di sini hukum alam bekerja sebagai karma.

8. You Can't Fool All of The People All of The Time

Di buku "Surat Untuk Sahabat", Prabowo juga mengutip kata-kata Presiden Amerika Serikat -- Abraham Lincoln, "You can fool some of the people all of the time, and all of the people some of the time, but you can't fool all of the people all of the time".

Anda dapat memperdayakan semua orang untuk sementara waktu, dan memperdayakan sementara orang untuk selamanya, tetapi Anda tidak dapat memperdayakan semua orang untuk selamanya.

Ucapan Abraham Lincoln kalau diterjemahkan dalam bahasa Jawa kira-kira artinya sepadan dengan becik ketitik ala ketara, kebenaran akan dinyatakan, kebohongan akan terungkap dengan sendirinya. Sunatullah.

Meski "Surat Untuk Sahabat" ini merupakan kumpulan tulisan Prabowo Subianto di akun fb-nya kemudian dibukukan, tapi saya menganggap sebagai buku filsafat politik, tidak sekadar mengutarakan pikiran-pikiran politik, filosofi, termasuk prediksi atau ramalan politiknya yang ia sampaikan lewat hermeneutik pesan tersebut.

Justru yang tak kalah menarik, kalau hermeneutika ini kita baca ulang, ditafsir, lalu diterjemahkan pesan tersebut terhubung dengan realitas politik saat ini. Terlepas kebenaran, benar tidaknya, apa yang Prabowo ramalkan di buku "Surat Untuk Sahabat", tapi setidaknya di sini  mengajak kita senantiasa eling lan waspada.

Sak beja bejane wong kang lali

Isih beja wong kang eling lan waspada 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun