Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Gerson Poyk: Gara-Gara Nama

14 Agustus 2022   20:26 Diperbarui: 14 Agustus 2022   20:27 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sastrawan Gerson Poyk di rumahnya (Taklale.com) 

Saya sering datang ke rumah sastrawan Gerson Poyk (1931-2017) antara tahun 2012-2016 di kawasan Cikumpa, Depok Jawa Barat. Untuk ngobrol. Hampir setiap hari  minggu. Banyak saja yang ia ceritakan. Dari filsafat, sastra hingga kisah-kisah perjalanannya ke berbagai daerah di Indonesia. Tulisan-tulisannya dari pelbagai penjuru itu sudah dibukukan: "Keliling Indonesia, Dari Era Bung Karno Sampai SBY: Catatan Perjalanan Wartawan Nekat".

Angkatan pertama International Writing Program dari Universitas Iowa, AS ini seorang perokok berat.  Suatu ketika, kata Gerson,  ia batuk karena kebanyakan merokok.  Tetapi setelah seminggu barulah Gerson berobat. Itu pun karena batuknya mulai parah. "Saya pikir, jangan-jangan saya terkena kanker paru," kata Gerson berseloroh.

Ia  dibawa ke sebuah rumah sakit kecil di Depok. Mendaftar, Gerson diberi kupon antrian.  Datang panggilan, "Gerson Poyk....!" Terburu-buru Gerson masuk ke ruang periksa.

"Tapi dr. Yayan tidak memeriksa saya. Dia malah panggil semua jururawat dan bilang, ini sastrawan Gerson Poyk," cerita Gerson. 

Ia dikerubuti juru rawat yang, kata Gerson, cantik-cantik. "Bahkan ada yang cium saya. Ini to, Gerson Poyk itu," kata Gerson meniru omongan mereka. 

Ternyata, mantan pacar dr. Yayan adalah mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Indonesia. Namanya Angela. Mereka sudah menikah belasan tahun. Nona peranakan Jawa-Manado ini pernah memberikan novel karya Gerson,  "Di bawah Matahari Bali", kepada Yayan-nya. Novel ini kemudian dibuatkan film televisi pada waktu awal-awal tv swasta di Indonesia berdiri. Nona-nona dan ibu-ibu yang mengerubutinya tadi pernah nonton film yang diadaptasi dari novelnya itu.  

 Tetapi Gerson mengaku malu  waktu dikerubuti itu. Apa pasal? 

"Masa sastrawan  berobatnya ke RS sekelas puskesmas? Ketahuan kalau miskin, he-he-he," Gerson ketawa.

Cover Buku
Cover Buku "Keliling Indonesia..." (Sumber: Gramedia Digital)

Suatu ketika ia diundang ke pertemuan sastrawan di Miangas,  Sulawesi Utara. Gerson demam terkena angin laut dalam pelayaran dari Manado. Agar pengalaman di Depok tidak terulang, dia mendaftar dengan nama orang Manado. Tapi sial, kata Gerson, ia  lupa nama "aspal"nya itu. Berulang-ulang dipanggil Gerson bergeming. Dia pikir itu nama orang lain. Begitu  antrian habis Gerson baru sadar kalau dia tadi  mendaftar pakai nama itu. "Saya diomeli perawat," kata Gerson ngakak.

***

Gara-gara nama pula saya pernah "salah orang" di bandara Sentani. 

Dalam kurun Januari-April 2020 saya beberapa kali ke Papua terkait penulisan sejarah RS Dian Harapan di Waena. Mereka akan merayakan Pesta Perak, 25 tahun berdiri sebagai rumah sakit pada April 2020. Saya diminta oleh dr.Jon Paat, tentu saja atas persetujuan direktur RS dan ketua yayasan Dian Harapan untuk merangkum kisah mereka dalam bentuk buku. Buku sudah terbit, tebalnya 300-an halaman.

Biasanya saya dijemput di bandara. Jadi begitu turun di Sentani sudah ada mobil RS Dian Harapan yang menanti. Yang terakhir itu sesuai petunjuk Bu Nova, staf yang mengurusi akomodasi dan transportasi, saya akan dijemput Pak Edy. Nomer HP Pak Edy diberikan kepada saya.

Dalam benak saya, Pak Edy ini orang Jawa. Sesuai nama. "Mana ada orang Papua bernama Edy?" begitu pikir saya.  Karena telpon belum diangkat, saya mojok di cafe samping pintu kedatangan. Terbang malam bikin perut keroncongan. Di situ ada kopi panas dan kue-kue. Sembari ngopi,  saya sambil terus melihat-lihat wajah "jawa" yang akan muncul menjemput. Sekitar 30 menit menunggu, ada telp masuk. Dari Pak Edy. "Saya sudah di depan caf. Pake topi merah," ujarnya.

Saya celingak-celinguk. Tak ada wajah oran Jawa. Yang ada ini orang Papua. Pakai topi merah. Juga sedang mencari seseorang. "Pak Edy Dian Harapan?" tanya saya. "Betul. Ini Pak Alex, kah?" Kami berjabat tangan.

Tetapi dalam hati, "Aimama, kenapa nama su kayak orang Jawa?"

Karena penasaran, dalam perjalanan saya tanya:

"Pak Edy orang mana?"

"Asli Biak, Bapa," jawabnya.

"Jadi Edy ini nama asli kah?" lanjut saya.

"Iyo, Bapa. Asli. Tapi nama baptis saya beda."

Olala....!

"Nama baptis saya Sroyer Mathius. Tau dorang ini orang tua kasih nama Edy, jadi...," ia tertawa. Semua dokumen kependudukan pakai nama Sroyer Mathius.

Ceritanya, waktu tahun 1965, setiap hari di RRI Biak, seorang Kolonel bernama Edy,  bicara soal larangan ikut PKI. "Dia orang Jawa. Jadi Bapak dorang kasih nama Edy. Dulu itu, katanya kalau nama Papua susah dapat kerja. Jadi pake nama Jawa saja, sampai sekarang, hehehe," jelas Pak Edy.

Pak Edy sudah lama bekerja di RS Dian Harapan. Barangkali sudah 25 tahun. Sebagai sopir. Mula-mula ia sopir pribadi Bruder Henk Bloom, OFM, ahli bangunan dan pertukangan yang membangun hampir semua gereja, biara dan sekolah di Keuskupan Jayapura.

"Kita masuk ke pedalaman buat bangun gereja. Saya yang bawa bahan-bahan dengan Bruder Henk," kata Pak Edy.

Ketika virus Covid 19 merebak pesat di Papua, RS Dian Harapan salah satu rumah sakit rujukan. Pak Edy mengirimi saya foto-fotonya dalam stelan ADP lengkap. Ia tampak gagah. Sebab hanya dia sopir yang diberi tugas membawa jenazah pasien yang meninggal karena Covid-19.

Nomen est Omen. Nama adalah tanda. Namun tidak buat Pak Edy!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun