Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Guru Ambon di Pasundan

8 Agustus 2022   11:59 Diperbarui: 8 Agustus 2022   12:08 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kutipan kalimat M.A.W Brouwer di perlintasan di Kota Bandung. Brouwer adalah seorang pastor katolik, peneliti dan penulis (Foto:Lex) 

Arthus  "Ary" Kermite (58) menarik sebungkus kretek dari saku kemejanya. Sebatang ia loloskan. Menyulutnya dengan pemantik gas. Asap segera mengepul. 

"Habis sebungkus sehari," kata dia tersenyum.

Dengan perawakan sedang, kulit putih dan rambut yang dipangkas pendek, sukar membedakan Ary dengan orang Sunda. Apalagi dialek Sundanya kental."Saya orang Ambon. Sudah hampir 40 tahun di sini," kata Ary, kepala sekolah di SDN Sampalan, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. 

"Itu daerah paling ujung dari Kecamatan Cikembar, arah Pelabuhan Ratu. Dari persimpangan Cikembang, masuk tiga kilometer lagi ke dalam," jelasnya. Kami bertemu di Gereja Kristen Pasundan (GKP) Sukabumi pada suatu siang. 

Guru Inpres

Ary salah satu dari sekitar 600 guru asal Maluku yang didatangkan oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat pada tahun 1977. Kala itu Jawa Barat dipimpin Gubernur Aang Kunaefi Kartawiria. Sementara Maluku dipimpin Hasan Slamet. Sama-sama perwira tinggi TNI berpangkat mayor jenderal. Sama-sama orang Sunda.

"Barangkali karena kesamaan daerah asal tadi membuat mereka bekerja sama. Tetapi waktu itu memang Jawa Barat sedang butuh guru yang banyak," kata Ary.

Pengiriman guru-guru ini, sesungguhnya,  atas Instruksi Presiden (Inpres) yang dikeluarkan Presiden Soeharto tentang wajib belajar 6 tahun. Instruksi ini didahului oleh Inpres Nomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Tujuannya untuk memperluas kesempatan belajar, terutama di perdesaan dan bagi daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah.

Ketika itu Indonesia baru saja mendapat limpahan dana dari hasil penjualan minyak bumi yang harganya naik sekitar 300 persen dari sebelumnya. Setiap tahun tidak kurang dari 10 ribu unit SD Inpres dibangun di desa-desa. Seiring pembangunan gedung SD Inpres tersebut, ditempatkan pula satu juta guru Inpres di sekolah-sekolah itu. Total dana yang dikeluarkan untuk progam ini mencapai hampir Rp6,5 triliun. Angka yang sangat besar kala itu.

 Masa pengiriman guru dari luar daerah  Jawa Barat berlangsung antara tahun 1976 sampai dengan tahun 1977. Selain dari Maluku, guru-guru juga didatangkan dari Aceh, Padang, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Manado. Rata-rata mereka mengajar sekolah dasar di pedalaman Sukabumi, Bogor dan Cianjur. Belakangan sebagian kecil memilih pindah ke Depok dan Bekasi karena tak tahan tinggal di pedalaman.

"Kita di Maluku tinggal di pantai, ramai. Tetapi di Sukabumi kita naik turun gunung tinggal di pedalaman. Sepi sekali. Jadi tahun 1982 kita pilih pindah ke Depok, Jawa Barat," kata Hengky Wahilaitwan (65), yang telah pensiun sebagai guru SD. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun