Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Saya Hidup dari Menulis

6 Agustus 2022   09:10 Diperbarui: 6 Agustus 2022   09:15 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Gramedia.com) 

Sebagai penulis, setiap hari saya bangun pagi, sekitar pukul 04.00. Baca berita-berita dari beberapa website, terus mulai menulis, sampai nanti pukul 06.30. Lalu bikin kopi, mulai menulis lagi. Sarapan pukul 08.00. Menulis lagi hingga pukul 12.00. Sore pukul 17.00 mulai menulis lagi, sampai pukul 22.00. Diselingi makan malam. Ini jadwal yang ideal. Yang berusaha saya taati. Kerap "bolong-bolong" juga. Apalagi kalau sedang "belanja" bahan ke daerah. Badan sudah lelah, maunya lekas tidur.

Pagi ini saya membaca semacam "keluhan" Prof. Sutawi, Guru Besar dari Universitas Muhammadiyah Malang. Salah satunya adalah seperti saya kutipkan di bawah ini:

"Para profesor juga tidak tertarik menjadi penulis buku bermutu. Menulis buku bermutu itu membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan perasaan yang luar biasa. Royalti menulis buku juga tidak besar, hanya sekitar Rp 10 ribu per buku. Jika bukunya tidak laku di pasaran, maka mereka tidak memperoleh royalti sesuai harapan. Jika bukunya laku keras di pasaran, maka akan terbit buku bajakan atau fotokopian yang merugikan dirinya. Oleh karena itu, sejumlah profesor tidak lagi tertarik menjadi peneliti unggulan dan penulis buku bermutu. Mereka lebih bahagia jika bisa menjadi pejabat pemerintah, pejabat kampus, politisi, konsultan, nara sumber, penceramah, atau bintang iklan." (https://www.kompas.com/edu/read/2022/08/06/071000671/malu-aku-jadi-profesor-di-indonesia?page=all#page2.)

Benar belaka apa yang disampai Profesor Suwito di atas.  Begitulah Prof, kondisi kita. Tapi tentu tidak membuat kita harus menyerah. Ada banyak jalan lain yang bisa ditempuh. Tentu saja jalan yang baik dan terhormat.

Saya beberapa kali memandu kelas menulis secara online. Kelas yang disponsori oleh Penerbit & Percetakan BPK Gunung Mulia bersama Mission 21(dulu bernama Basel Mission, lembaga penginjilan Gereja Protestan Jerman dan Swiss). Biasanya dua bulan berproses bersama, dan pada akhir kelas diterbitkan buku yang berisi hasil tulisan peserta.

Peserta berada di hampir semua wilayah Indonesia: Fak-Fak, Sentani, Pontianak, Manado, Ambon, Waingapu di Sumba, Yogyakarta-Jakarta-Depok-Bogor-Surabaya di Jawa, Palembang, dll. Sungguh Indonesia Raya! Kami pakai pertemuan online. Kumpul tugas juga online. Semua serba online.

Peserta datang dari beragam profesi. Usia, agama, jenis kelamin berbeda. Juga pilihan politik. Ada penulis, dosen, mahasiswa S3, pemimpin jemaat, profesional, ibu rumah tangga, nona-nona, ibu-ibu, bapak2, dll.

Intensinya juga macam-macam.

Selain soal teknik menulis, yang kerap ditanyakan adalah tentang proses kreatif: Cara mendapatkan ide, menyusun kerangka tulisan, mulai menulis, memberinya jarak, menulis ulang lagi.

Hal yang sensitif ini juga ditanyakan: Berapa penghasilan seorang penulis? Atau, bisakah seseorang hidup dari menulis di Indonesia Raya tercinta ini?

Saya susah menjawabnya!

Tetapi saya juga harus jujur menyampaikan, supaya orang jangan salah memilih menjadi penulis. Takutnya kecewa. Meskipun untuk sampai ke sana, untuk menjadi penulis, diperlukan seperangkat kemampuan teknis yang tidak main-main. Juga ada hal yang tak tampak, yang kita sebut sebagai "panggilan".

Sebab itu, saya cerita pengalaman pribadi saja. Meskipun saya rasa agak klise juga. Tidak nyaman. Mungkin akan subyektif. Namun petik dan ambil saja yang bermanfaat untuk menjadi bekal Anda.

Pertama, pemahaman umum. Bahwa semua profesi dibayar sesuai dengan tingkat profesionalitas seseorang. Semakin profesional atau ahli seseorang, kian mahal tarifnya. Penulis juga demikian.

Kedua, tingkat profesionalisme penulis ditentukan oleh "jam terbang"nya. Ukurannya adalah berapa karya sudah Anda hasilkan? Karya apa saja? Karena itu sering saya katakan, bikinlah karya, sesederhana apapun, sebab selain membangkitkan rasa percaya diri, juga bisa dipakai untuk "jual diri".

Ketiga, Anda cenderung mau menggeluti genre apa?Apakah fiksi seperti menulis novel dsbnya? Atau menulis biografi, sejarah gereja atau lembaga, bikin company profile?

Keempat, tidak ada patokan angka. Tidak seperti karyawan atau ASN atau direktur bank yang jelas jumlah gajinya. Tergantung sikon. Tergantung jangka waktu menulis, mudah atau susahnya mengumpulkan data, kapan harus terbit, siapa yang ditulis, dsbnya.

Biasanya kalau diminta segera terbit dalam waktu yang sempit-misalnya tiga bulan sejak kesepakatan ditandatangani-biayanya sedikit lebih tinggi. Karena perlu "tenaga" ekstra untuk menyelesaikannya. Namun semua bisa dinegosiasi.

Bagaimana dengan angka-angka? Saya sebut secara umum saja. Satu buku berkisar antara Rp25- 100 juta. Tergantung kemampuan Anda "menjual diri". Serta apa dan siapa yang Anda tulis. Ini faktor yang menentukan.

Kemampuan "menjual diri" yang saya maksud tidak saja menyangkut seberapa banyak karya sudah Anda terbitkan, sebab semakin banyak dan berkualitas, semakin Anda diperhitungkan, namun juga bagaimana sikap Anda?

Akhirnya "names make news" berlaku juga bagi para penulis.  Yang "news"nya kita ganti menjadi "money".

Demikian!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun