Mohon tunggu...
Alexander Manurung
Alexander Manurung Mohon Tunggu... Presiden Mahasiswa Institut Indobaru Nasional Batam 2024| Public Economic Enthusiast

Hallo,Perkenalkan Saya Alexander Manurung,Saya Adalah Seorang Mahasiswa Asal Batam,Kepulauan Riau,Saya Juga Seorang yang sangat giat menulis dan memperhatikan Kebijakan-Kebijiakan Yang di buat oleh pemerintah Daerah,Provinsi,maupun pemerintah pusat

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Indonesia di Panggung Beijing: Strategi Diplomasi atau Posisi Rawan? "

4 September 2025   05:07 Diperbarui: 4 September 2025   05:07 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Presiden Prabowo,Bersama Vladimir Putin,Xin Jinping,Kim Jong Un,Beijing Saat Menggelar Parade Militer.

Oleh Alex Manurung

Parade militer memperingati 80 tahun kemenangan Tiongkok atas Jepang di Beijing tidak sekadar upacara sejarah. Ia menjelma simbol konstelasi baru geopolitik dunia. Saat Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Kim Jong Un berdiri bersama, dunia membaca pesan keras: ada poros kekuatan yang menantang dominasi Barat. Di antara mereka, hadir pula Presiden Prabowo Subianto---sosok yang membawa identitas Indonesia sebagai middle power di tengah pusaran rivalitas global.

Bagi Barat, peristiwa ini jelas menimbulkan kegelisahan. Donald Trump dengan lantang menuding adanya konspirasi anti-Amerika, sementara NATO menyebut Beijing menopang ekonomi Moskow di tengah sanksi. Ukraina pun bersuara, khawatir persekutuan Xi-Putin-Kim memperkuat invasi Rusia. Ditambah tudingan bahwa Korea Utara memasok amunisi ke Kremlin, rangkaian ini membentuk narasi blok baru yang anti-AS. Foto kebersamaan mereka di Beijing, dalam kacamata Barat, bukan sekadar seremoni, melainkan sinyal politik yang serius.

Dalam konteks itu, kehadiran Prabowo menyimpan arti ganda. Di satu sisi, ia menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dengan kapasitas diplomasi yang mampu hadir di lingkaran adidaya. Di sisi lain, langkah ini berpotensi ditafsirkan keliru oleh Washington dan sekutunya. Apakah Indonesia sedang menjaga keseimbangan atau justru merapat ke orbit Beijing? Pertanyaan inilah yang kini menghantui diplomasi kita.

Bila ditelaah secara strategis, langkah Prabowo bisa dipandang sebagai strategi diplomasi cerdas. Indonesia tidak mungkin menutup pintu pada Tiongkok, mitra dagang terbesar yang menopang perekonomian nasional. Kehadiran di Beijing adalah bentuk engagement, upaya untuk memastikan hubungan ekonomi dan investasi tetap terjaga. Lebih dari itu, Prabowo ingin menampilkan Indonesia sebagai pemain global yang tidak inferior di hadapan kekuatan besar.

Namun, risiko tetap mengintai. Barat bisa memanfaatkan momentum ini untuk menekan Indonesia, baik lewat isu perdagangan, keamanan, maupun politik. Label "condong ke Beijing" akan sangat merugikan bila melekat pada Indonesia, mengingat kita juga menjalin hubungan erat dengan Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Keseimbangan yang rapuh ini menuntut kelihaian diplomasi tingkat tinggi.

Indonesia sebetulnya punya modal historis untuk memainkan peran jembatan. Sejak era Konferensi Asia-Afrika hingga Gerakan Non-Blok, Indonesia terbiasa menavigasi rivalitas adidaya tanpa kehilangan jati diri. Tradisi politik luar negeri bebas-aktif memberi ruang bagi kita untuk duduk di semua meja, berbicara dengan semua pihak, dan tidak terseret dalam perang blok. Kehadiran Prabowo di Beijing seharusnya dibaca dalam kerangka ini: diplomasi jembatan, bukan diplomasi keberpihakan.

Namun, diplomasi jembatan hanya akan efektif bila diikuti dengan langkah konkret. Kehadiran Prabowo di Beijing harus disusul dengan kunjungan ke Washington, Brussel, atau Tokyo, agar narasi keseimbangan tetap terjaga. Jika tidak, foto bersama Xi-Putin-Kim bisa dimaknai sebagai simbol keberpihakan yang sulit ditolak. Dunia kini sangat sensitif pada simbol, dan dalam politik internasional, simbol sering kali lebih keras daripada kata-kata.

Saya melihat langkah ini ibarat pedang bermata dua. Ia bisa menjadi momentum emas untuk menegaskan Indonesia sebagai middle power yang diperhitungkan. Tetapi bila salah dikelola, ia justru menjebak kita pada posisi rawan di tengah tarik-menarik kekuatan besar. Diplomasi bukan hanya soal hadir, tetapi juga soal mengelola persepsi global yang lahir dari kehadiran itu.

Pada akhirnya, pertanyaan apakah ini langkah strategis atau posisi rawan akan ditentukan oleh konsistensi kebijakan luar negeri Prabowo. Jika ia mampu menjaga keseimbangan, mengelola simbol, dan tetap menempatkan kepentingan nasional di atas segalanya, maka Beijing akan tercatat sebagai panggung strategis. Namun bila gagal, momen ini bisa menjadi titik awal persepsi bahwa Indonesia sedang tergelincir ke orbit tertentu. Di sinilah seni diplomasi sejati diuji.

Sebagai penulis dan pengamat, saya meyakini Indonesia tidak boleh menjadi satelit siapa pun. Kehadiran Prabowo di Beijing harus dipahami bukan sebagai keterikatan, tetapi sebagai afirmasi bahwa Indonesia punya ruang manuver yang luas. Kita adalah bangsa dengan sejarah, kapasitas, dan martabat untuk berdiri di tengah, menjaga keseimbangan, sekaligus menawarkan solusi atas konflik global. Itu adalah hakikat sejati politik bebas-aktif yang kini mendapat ujian terbesar di era multipolar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun