OlehÂ
Alexander Manurung
Kota Batam dalam beberapa hari terakhir menjadi panggung isu politik yang kerap bergerak di bawah permukaan. Apa yang saya sebut sebagai operasi politik underground bukanlah hal baru dalam dinamika politik nasional, namun kali ini terasa lebih sistematis, seakan ingin mengganggu stabilitas sosial dan politik di ruang publik. Isu-isu yang sengaja digulirkan dari tanggal 1 hingga 5 September secara nasional, sebenarnya sudah mencoba menancapkan pengaruhnya di Batam sejak awal. Namun, saya ingin menegaskan bahwa momentum tanggal 1 September menjadi bukti bahwa masyarakat Batam tidak mudah digoyahkan dan upaya ini sudah dapat dinetralisir.
Operasi politik semacam ini selalu bekerja dalam dua jalur, membentuk persepsi publik dan menciptakan kekacauan di lapangan. Keduanya bisa berjalan beriringan jika tidak ada benteng sosial yang mampu membendungnya. Di sinilah pentingnya deteksi dini atau early warning system, agar setiap gelagat kecil yang mencurigakan segera terbaca. Melalui sistem deteksi yang tajam, gerakan-gerakan provokatif dapat dipetakan sejak embrionya, sebelum menjelma menjadi letupan konflik yang lebih besar.
Namun deteksi saja tidak cukup. Opini publik harus diarahkan pada jalur yang sehat dengan strategi kontra-narasi (counter narrative). Kontra-narasi menjadi penangkal utama terhadap fitnah, propaganda, maupun manipulasi informasi yang biasanya menjadi senjata utama operasi politik bawah tanah. Sebagai aktivis mahasiswa, saya melihat pentingnya mahasiswa, akademisi, dan jurnalis mengambil peran aktif dalam menyajikan narasi alternatif yang faktual, sehingga publik tidak terjebak dalam kabut manipulasi.
Di sisi lain, transparansi publik harus dibangun sebagai pagar penguat. Politik underground biasanya tumbuh subur di ruang gelap, di balik ketertutupan informasi. Ketika transparansi diciptakan, setiap celah permainan menjadi lebih sulit dimainkan. Batam sebagai kota dengan heterogenitas sosial yang tinggi, sangat membutuhkan kejelasan informasi agar warganya tidak terombang-ambing isu murahan yang sengaja dihembuskan.
Menghadapi operasi politik underground juga tidak bisa lepas dari upaya penguasaan arena massa. Ruang publik tidak boleh kosong, ia harus diisi dengan energi positif. Ketika mahasiswa, pemuda, organisasi masyarakat, dan komunitas lokal mengambil alih ruang sosial, maka ruang kosong yang biasanya menjadi lahan subur bagi provokator akan tertutup rapat. Inilah cara efektif untuk membentengi masyarakat dari eksploitasi psikologis yang dimainkan oleh operator bawah tanah.
Selain itu, taktik infiltrasi dan fragmentasi perlu dipahami sebagai metode balasan. Infiltrasi memungkinkan kita masuk ke dalam lingkaran kecil yang menggerakkan operasi, sementara fragmentasi berarti memecah barisan mereka dari dalam. Dua langkah ini bukan hanya defensif, tetapi juga ofensif: menjadikan senjata lawan berbalik arah dan menghantam kembali pusat kendali mereka.
Tidak kalah penting adalah pendekatan hukum atau legal approach. Setiap upaya untuk menciptakan kekacauan harus diikat dengan aturan hukum yang tegas. Para operator yang bermain di balik layar harus tahu bahwa negara tidak tinggal diam. Penegakan hukum yang jelas dan tidak pandang bulu akan menjadi pagar kokoh yang membuat operasi semacam ini tidak memiliki ruang bernafas.
Meski demikian, strategi keras tetap harus diimbangi dengan operasi simpati. Masyarakat adalah benteng paling kuat, dan simpati mereka hanya bisa diraih melalui pendekatan yang humanis. Menyapa rakyat kecil, mendengar keluhan mereka, serta menghadirkan solusi nyata akan membuat mereka menutup telinga dari bisikan propaganda bawah tanah. Dalam kacamata saya, operasi simpati adalah jantung yang memastikan masyarakat tetap berada di jalur kepercayaan, bukan kecurigaan.