Mohon tunggu...
Aletheia
Aletheia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar di SMP Alam Planet Nufo, Rembang, Jawa Tengah

Pelajar ingusan yang tengah bersengketa dengan kegabutan duniawi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Darah Tercinta

2 Juni 2022   08:00 Diperbarui: 2 Juni 2022   08:01 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dunia tengah sakit, persis seperti para penghuninya. Dunia tengah sepi, sehingga jalanan tak terjejali oleh setitik pun jejak kaki. Beribu himbauan dan tagar di media sosial bermunculan setiap detiknya, tentang cara menanggulangi gejala penyakit dan rasa jenuh di rumah saja. Berjuta peleton garda terdepan mustahil untuk sekadar membisu di rumah saja. Mereka terpaksa berlari demi kemaslahatan diri, negara, dan keluarga tentunya.

            Rezim corona, orde kekejian, penyita semua hak dan kebebasan yang bernyawa. Kerukunan bersosial, kemantapan raga, kesehatan jiwa, finansial yang merdeka, hanya sepucuk problematika dari beragam kebebasan yang diluluhlantakkan oleh medan pertempuran baru yang berjudul Lockdown. Mengundang kemudharatan majemuk yang hendak unjuk muka.

Pikirku diperlumat dengan banyaknya isu gerakan bawah tanah si elit global, cuma diprakarsai oleh kalangan pewarta yang terbit kemarin sore. Tentu saja, tanpa adanya validasi dari fakta dan data yang menjadi penukik keras komentar hoaks dari jemari cerdas netizen. Apa boleh buat? Menciptakan paradigma hangat menjadi target pemasaran terbaik mereka untuk masa kini. Maklumi saja lah, kawan. Mereka juga butuh cuan lebih untuk bertahan hidup.

***

            Langit Dusun Mlagen tengah kurang berkenan untuk menebar cahaya indah sang surya. Laskar kumolonimbus membombardir Dusun Mlagen dengan badai dahsyatnya. Tak heran mengapa ada saja pohon yang roboh, padi-padi yang tumbang, juga banyak sumber daya alam usaha agrikultur yang tereksploitasi oleh badai. Yang lemah akan kalah, yang lebih kuat akan bertahan, seperti hukum alam yang terus berlaku.

            Secangkir kopi robusta hangat menjadi kawan seatapku, di kala para penghuni rumah gedhek lainnya sedang khusyuk dengan ritual euforia di musim hujan, termasuk Aufa, adikku yang baru saja duduk di bangku SMP. Kesemenjanaan bahagia terpampang lekat di wajah basah kuyup mereka, sementara aku hanya bisa menyaksikan mereka di serambi rumah gedhek teramat bangga. Mengingat cucianku yang menumpuk, tersebab waktu senggangku yang terhujani oleh siraman rahmat dari langit. Setidaknya, bahagia mereka juga bahagiaku.

            Konon katanya, hujan adalah representasi dari kenangan indah yang berhamburan. Tak usah kuganggu gugat filosofi indie mereka, selagi aku masih menjadi salah satu dari sekian  banyak penikmatnya. Teringat akan hegemoni kenikmatan semasa hujan di rumah. Aneysha Ukma, adikku tercinta, si periang yang selalu menanti hujan untuk bertamu. Layaknya otak imajiner anak-anak kebanyakan, Aneysha senang bermain dengan rintikkan air hujan yang ia anggap sebagai peri mungil nan ajaib.

            Acap kali awan gelap kelabu, memberi Aneysha harapan palsu. Terkadang, mereka hanya singgah sebentar, lalu berlalu begitu saja. Derai air mata tersimbah dari mata cantik Aneysha. Terkadang, rintik-rintik air dari langit menjadi hujan deras. Kawanan kodok berkonser ria, mendukung Neysha untuk berbahagia. Nahasnya, Bunda menjadi kontra besar bagi kegemarannya. Air mata kecewa kembali tersimbah deras dari mata sipitnya.

            Potensial menjadi komika kocak, kurasa. Aneysha sering berceletuk ringan dan konyol, acap mengundang gelak keluarga di setiap momen quality time. Bak pinang dibelah dua, Aneysha menjiplak persis perangai Abang dan Akaknya, menjadi seorang pemalas dan gemar berhibernasi. Kerap berkeluh kesah dengan segala ajakan Bunda.

            "Kenapa kita harus salat setiap hari sih, Bun? Capek tau." Cerita Bunda kepadaku lewat pesawat telepon. Ah, mungkin kami telah menjadi figur yang buruk baginya. Maafkan ketidak sopanan kami, Ney.

            Tak sepelemparan batu dengan Alani Jaida Khansa Ukma, adikku yang hiperaktif. Kerap Aneysha termonopoli oleh Alani dengan motif untuk menonton beberapa video anak-anak di Youtube. Ya, Alani cerdas dalam mengolah data lapangan dan keinginannya, sehingga dengan mudah ia memanfaatkan kepolosan Aneysha sebaik mungkin. Embel-embel keuntungan di kedua belah pihak lah, Aneysha bersemangat untuk mengikuti segala mau.

             Dibalik kehebatan mereka, mutlak ada peran penting seorang penggembleng setia. Ayah, Bunda, serta Alyfa Naura Abinawa Ukma, adikku dengan jiwa keibuannya yang super, menjadi the truth undercover of Alani and Aneysha. Selalu sabar dan berlapang dada dalam merumati watak mereka yang bersimpang siur dan beragam. Bahkan keluh kesah tak pernah terucap dari bibir ranum merah mudanya.

            Di rumah, aku dan Alyfa terkenal tak pernah bisa akur. Kerap kami bertengkar tersebab sifatnya yang usil. Kerap berseteru hingga bisa terkumpul menjadi satu kompilasi besar tentang makna dari persaudaraan yang riil. Karena jenuh tercipta karena segalanya bersikap sopan, perseteruan tercipta karena segala sesuatu begitu menjenuhkan. Terkadang, Alyfa berubah menjadi sosok baik dan sangat perhatian kepada musuh bebuyutannya, Abangnya sendiri.

            "Nih makan, Bang." Alyfa membesukku yang tengah terkapar lesu di kamar, menyuguhi sepiring nasi goreng buatannya, dan segelas air hangat. Aku terperanjat kaget dan menatap matanya serius.

            "Seriusan, Wa? Tumben banget." Dahiku mengernyit merasa mustahil dengan sikapnya barusan.

            "Yakali bercanda. Kalau gak mau mending kasih ke Awa aja." Balasnya dengan kernyitan dahi yang sama, namun lebih menjengkelkan. Aku hanya bisa bergeming, lalu dia pergi dan menutup pintu.

            Al-Fatih Ukma, lelaki bungsu keluarga Ukma. Kuat mental dan fisiknya, berkepala besar, unik, dan setahan baja. Bukan hasil terawangan epilepsi, memang benar unik bentuk kepalanya. Tampak depan mengotak, tampak atas seperti segitiga, tampak belakang seperti lingkaran. Acap kujadikan lelucon di forum quality time juga di dalam komunitasku di rumah gedhek.

            Kini ia genap satu tahun di Bumi, sudah mulai terlihat jiwa kelakiannya. Mulai dari memukul kepala kakak-kakaknya, bahkan Bunda sebagai candaan. Hiperaktif dan sangat suka memberontak, lihainya membentuk strategi ciamik untuk mencari kebebasan. Membaca pergerakan semua penghuni rumah teliti, lalu mengambil ancang-ancang keluar dari rumah. Tinggal menunggu beberapa menit bagi para penghuni rumah untuk awas akan kehilangannya di rumah. Aku hanya bisa tertawa ketika Bunda menceritakannya kepadaku via suara.

            Mereka hadir dalam kehidupanku. Laksana Bandung Bondowoso, mereka membangun beratus situs kenangan indah di hatiku, memberiku arti murni dari "rumahku, surgaku" yang paripurna. Akan berjalan selaras hingga zurah terakhir yang akan mengakhiri.

            Tersurai sangat jauh dari mereka menjadi musabab kurindu. Berbeda ranah kami berpijak, berbeda budaya kami terbiasa, bahkan berbeda kuliner kami mengecap rasa. Terpisahkan oleh Selat Sunda, aku dilambungkan ke pelosok Rembang, guna untuk menimba ilmu di tempat yang dirasa sangat layak. Mengingat hiruk pikuk kemaksiatan di Kota Solok tidak begitu kondusif bagiku yang ingin maju dan tumbuh signifikan.

            Bagaimanapun juga, aku tak kuasa mengganggu gugat hakikat insan sebagai musafir yang membawa kantung kosong. Dunia sebagai hamparan luas yang akan kita tanami dengan beragam bibit dengan kebermanfaatan yang berbeda pula. Ada yang menanam bahan pangan nan baik dan berguna, namun tidak menutup kemungkinan akan mereka yang menanam racun mematikan. Yang jelas, semuanya akan pulang dengan kantung yang terisi penuh oleh hasil tanam mereka masing-masing.

            Sebagaimana kelumrahan sifat manusia, aku tak ingin dipermalukan karena keburukan hasil tanamku tersebab pengaruh eksternal yang mengganggu. Tak mengapa, terundung pilu karena rindu pun sementara singgahnya. Kalah bertaruh menjadi siksa yang nyata lagi abadi terasa. Nasib zurahku, sangat bergantung pada kiprah diriku. Oleh karena itu, harus kucamkan keras rute mutakhir pada hegemoni kesejahteraan. Kelak, aku dan hati mereka yang kini terpaut akan rindu juga merasakannya. Semoga.

            Setelah gelap, terbitlah terang. Kiasan apik yang dapat menggambarkan laskar kumolonimbus yang telah menjauh dari langit Dusun Mlagen. Hampir saja aku lupa dengan koloni bebek yang tengah kurawat. Biasanya, usai hujan turun, mereka akan berteriak-teriak dengan perut kosong mereka. Kututup perenunganku, segera mengambil seragam kerja yang tergantung di gantungan gedhek, langsung mengambil langkah cepat menuju kandang bebek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun