Mohon tunggu...
Aletheia
Aletheia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar di SMP Alam Planet Nufo, Rembang, Jawa Tengah

Pelajar ingusan yang tengah bersengketa dengan kegabutan duniawi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Darah Tercinta

2 Juni 2022   08:00 Diperbarui: 2 Juni 2022   08:01 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

             Dibalik kehebatan mereka, mutlak ada peran penting seorang penggembleng setia. Ayah, Bunda, serta Alyfa Naura Abinawa Ukma, adikku dengan jiwa keibuannya yang super, menjadi the truth undercover of Alani and Aneysha. Selalu sabar dan berlapang dada dalam merumati watak mereka yang bersimpang siur dan beragam. Bahkan keluh kesah tak pernah terucap dari bibir ranum merah mudanya.

            Di rumah, aku dan Alyfa terkenal tak pernah bisa akur. Kerap kami bertengkar tersebab sifatnya yang usil. Kerap berseteru hingga bisa terkumpul menjadi satu kompilasi besar tentang makna dari persaudaraan yang riil. Karena jenuh tercipta karena segalanya bersikap sopan, perseteruan tercipta karena segala sesuatu begitu menjenuhkan. Terkadang, Alyfa berubah menjadi sosok baik dan sangat perhatian kepada musuh bebuyutannya, Abangnya sendiri.

            "Nih makan, Bang." Alyfa membesukku yang tengah terkapar lesu di kamar, menyuguhi sepiring nasi goreng buatannya, dan segelas air hangat. Aku terperanjat kaget dan menatap matanya serius.

            "Seriusan, Wa? Tumben banget." Dahiku mengernyit merasa mustahil dengan sikapnya barusan.

            "Yakali bercanda. Kalau gak mau mending kasih ke Awa aja." Balasnya dengan kernyitan dahi yang sama, namun lebih menjengkelkan. Aku hanya bisa bergeming, lalu dia pergi dan menutup pintu.

            Al-Fatih Ukma, lelaki bungsu keluarga Ukma. Kuat mental dan fisiknya, berkepala besar, unik, dan setahan baja. Bukan hasil terawangan epilepsi, memang benar unik bentuk kepalanya. Tampak depan mengotak, tampak atas seperti segitiga, tampak belakang seperti lingkaran. Acap kujadikan lelucon di forum quality time juga di dalam komunitasku di rumah gedhek.

            Kini ia genap satu tahun di Bumi, sudah mulai terlihat jiwa kelakiannya. Mulai dari memukul kepala kakak-kakaknya, bahkan Bunda sebagai candaan. Hiperaktif dan sangat suka memberontak, lihainya membentuk strategi ciamik untuk mencari kebebasan. Membaca pergerakan semua penghuni rumah teliti, lalu mengambil ancang-ancang keluar dari rumah. Tinggal menunggu beberapa menit bagi para penghuni rumah untuk awas akan kehilangannya di rumah. Aku hanya bisa tertawa ketika Bunda menceritakannya kepadaku via suara.

            Mereka hadir dalam kehidupanku. Laksana Bandung Bondowoso, mereka membangun beratus situs kenangan indah di hatiku, memberiku arti murni dari "rumahku, surgaku" yang paripurna. Akan berjalan selaras hingga zurah terakhir yang akan mengakhiri.

            Tersurai sangat jauh dari mereka menjadi musabab kurindu. Berbeda ranah kami berpijak, berbeda budaya kami terbiasa, bahkan berbeda kuliner kami mengecap rasa. Terpisahkan oleh Selat Sunda, aku dilambungkan ke pelosok Rembang, guna untuk menimba ilmu di tempat yang dirasa sangat layak. Mengingat hiruk pikuk kemaksiatan di Kota Solok tidak begitu kondusif bagiku yang ingin maju dan tumbuh signifikan.

            Bagaimanapun juga, aku tak kuasa mengganggu gugat hakikat insan sebagai musafir yang membawa kantung kosong. Dunia sebagai hamparan luas yang akan kita tanami dengan beragam bibit dengan kebermanfaatan yang berbeda pula. Ada yang menanam bahan pangan nan baik dan berguna, namun tidak menutup kemungkinan akan mereka yang menanam racun mematikan. Yang jelas, semuanya akan pulang dengan kantung yang terisi penuh oleh hasil tanam mereka masing-masing.

            Sebagaimana kelumrahan sifat manusia, aku tak ingin dipermalukan karena keburukan hasil tanamku tersebab pengaruh eksternal yang mengganggu. Tak mengapa, terundung pilu karena rindu pun sementara singgahnya. Kalah bertaruh menjadi siksa yang nyata lagi abadi terasa. Nasib zurahku, sangat bergantung pada kiprah diriku. Oleh karena itu, harus kucamkan keras rute mutakhir pada hegemoni kesejahteraan. Kelak, aku dan hati mereka yang kini terpaut akan rindu juga merasakannya. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun