Mohon tunggu...
Aldo Aditiya
Aldo Aditiya Mohon Tunggu... -

Orang yang kebetulan suka mencari tahu tentang berbagai macam hal | Mau baca lebih? https://medium.com/@aldoan | Mau bilang sesuatu? https://twitter.com/aditiya_aldo |

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Gitaris Itu Pernah Bermain di Tengah Kota

24 April 2018   13:00 Diperbarui: 24 April 2018   13:07 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://goodstock.photos/wp-content/uploads/angled-red-acoustic-guitar.jpg

Originally posted

Alkisah ada seorang pemain gitar yang terkenal hebat. Setiap dia bermain di tengah kota, orang -- orang selalu datang untuk melihat dan mendengarkannya bermain. Dia terkenal di kalangan wanita karena keahliannya bermain, dan di kalangan pria karena membuat mereka cemburu. Dengan memainkan gitarnya yang berwarna merah, dia menarik banyak orang dari desa luar untuk datang melihatnya.

Suatu hari seorang mantan musisi dari desa seberang datang untuk melihatnya bermain, penasaran dengan apa yang dipeributkan orang -- orang. Di dalam hatinya dia iri kepada sang pemain gitar, kenapa gitaris ini bisa terkenal sedangkan dirinya tidak. Saking cemburunya dia termakan amarah, dan dari tengah keramaian dia melemparkan batu ke arah muka si pemain gitar.

Sang pemain gitar tersentak kaget. Selama dia bermain di tengah kota, belum pernah ada orang yang tidak menyukainya, apalagi sampai melempari dia dengan batu. Pikirannya campur aduk, dia kewalahan dengan semua pikiran negatif yang datang di kepalanya. Terdiam dan merasa terkalahkan, dia mulai berjalan ke luar dari kerumunan, dan tidak berhenti hingga jauh dari kota itu.

Setelah itu, tidak ada lagi yang mendengar darinya.

Waktu berjalan, dan sang gitaris dilupakan.

Sekarang di kota sedang ada seorang pemain biola yang digemari banyak orang. Permainannya mengundang banyak pendatang dari desa luar untuk melihat.

Di tengah kota, sekerumunan orang melingkar untuk melihat pemain biola ini beraksi. Dalam kerumunan, seseorang yang membawa gitar merah merunduk, bersiap -- siap untuk mengambil batu.

.

.

.

Pertama membaca cerita di atas, biasanya kita akan langsung menganggap kalau yang salah disini adalah si mantan musisi. Karena kecemburuannya, dia menyebabkan sang gitaris berhenti bermain gitar. Kita bisa ambil pelajaran untuk hati - hati saat berbicara, karena kita bisa menyebabkan orang lain hilang semangatnya dan jadi lebih negatif. Mulutmu buayamu.

Tapi apa si mantan musisi saja yang salah?

Sang gitaris, tersakiti perasaannya oleh lemparan batu si mantan musisi, akhirnya menjadi orang yang melempar batu. Karena tidak kuat menerima tekanan dari luar, dia membiarkan tekanan itu merubah dirinya menjadi pemberi tekanan.

Bukankah lebih baik kalau dia melihat diri sendiri dan menentukan, kalau tekanan ini tidak akan merubah dirinya?

.

.

.

Saya mengerti, kalau untuk orang -- orang yang pikirannya terganggu, hal ini sulit dilakukan. Dengan menyarankan orang untuk melihat ke diri sendiri guna melawan tekanan luar, saya tidak menyepelekan apa yang dirasakan oleh orang lain saat mereka di lempar pakai batu. Saya bisa mengerti perasaan orang yang ada di sisi penerima batu.

Saya sendiri sempat merasakan masa dimana pikiran saya terganggu, yang membuat diri saya menjadi pahit. Terus menyalahkan faktor -- faktor luar karena kesengsaraan yang dialami. Terus menyalahkan orang lain untuk perasaan yang mereka sebabkan.

Tapi ada satu hal yang cukup baik melawan ini, setidaknya untuk saya pribadi.

Tanggung jawab. Atau lebih tepatnya, tanggung jawab atas perilaku dan perasaan diri sendiri.

Kita tidak bisa mengharapkan faktor luar untuk terus sejalan dengan keinginan kita. Suatu hari kita bisa saja dilemparkan sebuah batu dari musisi lama. Atau di hari berikutnya kita bisa saja dilemparkan 10 batu dari sekerumunan orang yang menonton.

Kita akan merasa sakit oleh lemparan -- lemparan itu, dan merasa diri kita sebagai sampah.

Tapi yang menentukan apakah kesakitan tersebut akan merubah tingkah laku kita, adalah diri kita sendiri.

Kita bisa memilih apakah dari kejadian ini kita akan keluar sebagai orang yang lebih baik, atau sebagai orang yang lebih pahit, yang terus menyalahkan faktor luar untuk apa yang kita alami.

Jadi, ketika musisi lama yang pahit itu melemparkan batu ke muka kita, sebagai gitaris, ayo kita pegang tanggung jawab atas perilaku kita.

 Ayo kita pilih untuk terus bermain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun