Mohon tunggu...
Aldi F
Aldi F Mohon Tunggu... Lainnya - MAHASISWA HUKUM UPNVJ

Berpikir secara mendalam memang rumit, tetapi menyenangkan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukuman Mati Bertentangan dengan Hak Asasi Manusia

25 Desember 2020   23:20 Diperbarui: 2 Januari 2021   15:13 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Disini penulis akan membahas terkait pidana hukuman mati yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi, baik di lingkup nasional maupun internasional, sebelum masuk lebih lanjut terkait hubungan hukuman mati dengan Hak Asasi Manusia, penulis akan menjelaskan apa itu Hak Asasi Manusia? Hak Asasi Manusia menurut 

Undang-Undang No 39 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 1 angka 1 adalah adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Selain itu, menurut (Jack Donnely, 2003:7-21) Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dengan demikian Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa terkecuali yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi oleh siapapun yang salah satunya adalah hak untuk hidup.

Pidana hukuman mati merupakan hukuman pencabutan hak hidup. Pidana hukuman mati ini merupakan jenis pidana yang tertua. Berdasarkan sejarah, hukuman mati pertama kali diatur dalam undang-undang Raja Hamurabi yang berasal dari Babilonia pada abad ke-19 Sebelum Masehi. Meskipun pidana ini sudah ada dari tahun 1900 SM, pidana mati ini masih diadopsi dan diterapkan dalam sanksi pidana negara-negara abad ini (abad 21). 

Eksistensi pidana mati dalam aturan pidana negara-negara di dunia, hanya mengalami perubahan cara/metode eksekusinya saja, mulai dari suntik mati, tembak ditempat, hukum gantung, dsb yang dirasa tidak menyakiti terpidana dalam eksekusinya. Meski dalam perkembangannya hukuman mati mengalami perubahan-perubahan cara/metode tetap saja pidana mati tetapi menyalahi Hak Asasi Manusia, karena mencabut hak untuk hidup yang sifatnya tidak dapat dikurangi (non-derogable right).

Berdasarkan Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut DUHAM) menjelaskan bahwa, "Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan." Dan pada pasal 3 menjelaskan bahwa "Tiap orang berhak untuk hidup, berhak atas kebebasan dan keamanan diri pribadi." Selain DUHAM, UU NRI juga menjelaskan hak untuk hidup merupakan hak yang tidak dapat kurangi dalam keadaan apapun, penjelasan ini tertuang pada Pasal 28I ayat (1) UUD NRI. Dengan demikian Hak untuk hidup seharusnya tidak dapat dikurangi atau bahkan DICABUT oleh otoritas apapun, termasuk dalam hal ini negara, apabila negara mencabut/merampas hak untuk hidup maka negara tersebut sudah menciderai hak asasi manusia karena hakikatnya hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights)

Dalam bukunya T. Mulya Lubis dalam bukunya yang berjudul "KONTROVERSI HUKUMAN MATI: PERBEDAAN PENDAPAT HAKIM KONSTITUSI" mengutip pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, yaitu Hakim Chaskalson ia menjelaskan bahwa, "kematian adalah bentuk hukuman yang paling ekstrem yang dapat dijatuhkan terhadap terpidana. 

Begitu dieksekusi, hukuman ini langsung bersifat final dan tidak dapat diubah lagi. Hukuman tersebut mengakhiri tidak hanya hak untuk hidup itu sendiri, tetapi juga semua hak pribadi lainnya yang telah melekat pada almarhum berdasarkan Bab Tiga Konstitusi ... Singkatnya tidak diragukan lagi bahwa hukuman mati adalah bentuk hukuman yang kejam. 

Sekali dijatuhkan, si terpidana pun berada dalam barisan penunggu kematian, dengan ditemani oleh terpidana-terpidana mati lainnya ... Hukuman mati juga merendahkan harkat yang bersangkutan karena hukuman mati menghapus segala harkat dan martabat apapun yang dimiliki si terpidana. Ia diperlakukan sebagai obyek yang harus dieliminasi oleh negara."

Menurut Prof. J.E. Sahetapy ketika menjadi ahli pada Juducial Review (Uji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar) UU Narkotika, ia berpendapat bahwa, "pidana mati bertentangan dengan Pancasila dan ahli tetap berkeyakinan sampai saat ini menentang pidana mati". Dan juga "Bahwa pidana mati tidak compatible dengan filosofi pemidanaan di Indonesia, karena kalau ingin mempertahankan pidana mati, maka harus mengganti terlebih dahulu nama lembaga pemasyarakatan, sebab lembaga pemasyarakatan berarti orang yang dimasukkan dalam lembaga pemasyarakatan adalah untuk dimasyarakatkan, kalau mau dijatuhkan pidana mati mau dimasyarakatkan dimana? Hal tersebut lah yang disebut kontradiksi dan bukan hanya kontradiksi interminis tetapi juga kontradiksi in ajekto. Sehingga straat stelsel kita itu harus perlu dikaji kembali"

Menurut Prof. Jeffrey Fagan dalam PUTUSAN MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, "Bahwa terdapat banyak dampak dari hukuman mati, yang dilihat secara regional, diketahui hukuman mati tidak akan membuat jera apapun dan siapapun. Meningkatnya jumlah eksekusi untuk menciptakan efek jera bahkan menciptakan morrale hazzel dari mengeksekusi orang yang tidak bersalah. Riset di Amerika Serikat menunjukan hal tersebut telah terjadi dan hal tersebut tidak boleh terjadi di Indonesia. Death penalty yang tidak efektif dan tidak fair serta memberi hukuman kepada orang yang tidak bersalah tidak memiliki peluang untuk mengoreksi berbagai kesalahan yang besar."

Human eror pada saat menetapkan terpidana  bisa saja terjadi. Sebagai contoh kasus kasus salah menetapkan terpidana hukuman mati yang terjadi pada seorang penderita polio di daerah South Wales, Timhoty Evans, Ia meregang nyawa di tiang gantungan. Ia dituduh membunuh istri dan anaknya sendiri yang masih bayi. Namun, setelah 16 tahun Evans menghembuskan nafas terakhirnya, muncul fakta yang mengejutkan. Dalam sebuah penyidikan kasus pembunuhan lainnya, ditemukan bahwa ternyata seorang pembunuh berantai John Reginald Halliday Christie, adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian istri dan anak Evan. Bahkan, Christie juga membunuh istrinya sendiri dan lima wanita lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun