Pilihannya cara berjuangnya tidak banyak. Dia memilih yang sederhana, menulis. Dia menulis surat kepada sahabat penanya yang ada di Belanda. Mungkin sahabat pena tak dikenal lagi sekarang ini.Â
Namun bagi generasi baby boomer, istilah sahabat pena ini sangat kental dan masih banyak yang mengalami.
Kartini menulis surat demi surat dan mengirimkannya kepada para sahabatnya. Surat-surat yang ditulis oleh Kartini dan dikirimkannya kepada para sahabatnya itulah yang dibukukan oleh J.H. Abendanon dalam Bahasa Belanda dengan judul "Door Duisternis Tot Licht" yang diterjemahkan ke dalam bahasa  Indonesia "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Isi suratnya yang merupakan curahan hati nuraninya ternyata membawa dampak. Perjuangannya dalam diam tanpa pemberontakan atau perlawanan. Dia dalam diam menulis dan mengirimkan suratnya
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari pengalaman Kartini dengan kekuatan menulisnya. Pertama, bahwa menulis telah mampu menggerakkan hati dan pikiran orang lain untuk memahami dan mendukung perjuangannya terhadap kaumnya.
Kedua, dengan menulis, Kartini menyampaikan gagasan, ide dan pemikirannya tentang keinginannya untuk menghapus diskriminasi terhadap kaumnya.
Ketiga, dengan menulis dia membangun relasi dengan para sahabat penanya di Belanda. Relasi yang baik itulah yang membuat J.H.Abendanon membuat buku Habis Gelap Terbitlah terang.
Keempat, Kartini membuktikan bahwa menulis adalah sebuah cara untuk berjuang, membangun relasi, memohon dukungan dan menginspirasi orang lain untuk ikut berjuang dan mendukung idenya.
Kita patut merenung ulang dan membuat refleksi kita hari ini dalam perayaan Hari Kartini. Hari ini BEM SI Kembali demo, riuh dan bergemuruh. Apakah akan ricuh lagi? Adakah hasil dari perjuangan yang bergemuruh dan ricuh ini? Apakah demonstrasi ini akan terus berlangsung berjilid-jilid dan tiada ujungnya?
Demonstrasi mahasiswa 11 April 2022 yang lalu yang berujung ricuh dan pengeroyokan terhadap Ade Armando cukup merepotkan bangsa kita. Jalanan macet, perekonomian terganggu dan banyak kerugian waktu dan materil.
Apakah mahasiswa hanya mengandalkan demonstrasi sebagai bentuk penyampaian aspirasinya? Apakah tidak bisa dicarai model alternatif sebagai sarana perjuangannya?