Tapi semua berubah tatkala keadaan berputar haluan.
Ariani masih teringat rasa melilit yang tak tertahan. Kelaparan memaksa Ariani mengais dari sisa pembuangan di tong sampah.
Tapi nihil. Tak sebutir nasi atau sekerat tulang ditemukan. Tiga hari mereka harus menerima siksa lapar yang sangat menyiksa di usia belianya. Tubuh Ariani gemetar menahan lapar. Meski air keran dari toilet umum menggelembung dalam usus, tetap tak sanggup membungkam cacing-cacing lapar di perut.
Ariani dan perempuan itu berakhir di kolong jembatan dengan lunglai.
Dengan mata terpejam dan nafas kembang kempis yang hampir putus, Ariani mencoba bertahan. Tubuhnya menggigil menahan demam yang mungkin sudah mencapai empat puluh derajat. Sedang sekitarnya abai akan dirinya, karena keadaan mereka tak lebih baik dengan yang dialami Ariani dan perempuan itu.
Ketika Ariani tinggal menunggu detik-detik malaikat maut menjemput nyawa, antara sadar dan tidak, seseorang menepuk punggungnya. Lamat didengar suara lembut lelaki. Entah apa yang dikatakan, Ariani hanya mengangguk dan pasrah saat dia dibawa pergi.
Ketika Ariani tersadar, dia, dan perempuan itu, telah berada di sebuah rumah berkeramik ukuran 40 x 40cm. Seorang lelaki ramah menjamunya sedemikian rupa, merawat perempuan itu dan dirinya, sampai Ariani betul merasakan nikmat yang belum pernah dia miliki, bahkan sejak dia dilahirkan.
Dia merasa kenyang dan bersih. Tak ada lagi perlombaan lari atau petak umpet melawan orang-orang berseragam. Ariani dan perempuan itu begitu bahagia dengan kehidupan barunya.
Sayang. Kehidupan nikmat itu tak berlangsung lama.
Lelaki yang menjanjikan ikatan yang nantinya akan menjadikan mereka satu dan tak terpisahkan, nyatanya hanya seorang penipu dan peminum.
Bualan cincin emas dua gram yang sempat membuat perempuan itu terbuai, tak kunjung tersemat di jari.