Disusun Oleh:
Albert Widiyanto, dan Sri Mawaddah, M.A
UIN Ar-Raniry  Banda Aceh
y3249537@gmail.com : rhiema79@yahoo.com
Abstrak
    Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang sangat penting setelah Al-Qur'an. Namun, kehadiran hadits palsu (maudhu') menjadi ancaman serius bagi keaslian ajaran Islam. Hadits maudhu muncul karena berbagai motif, seperti kepentingan politik, kebencian antar golongan, fanatisme mazhab, bahkan karena kebodohan dan keinginan populer semata. Penyebaran hadits palsu telah terjadi sejak masa awal Islam dan membawa dampak yang tidak sedikit bagi masyarakat, terutama di era modern. Artikel ini mengulas bagaimana hadits maudhu dapat menyesatkan pemahaman umat, merusak persatuan, dan menimbulkan pandangan keliru tentang Islam. Untuk menghadapinya, diperlukan upaya ilmiah dalam meneliti sanad, rawi, serta menetapkan kriteria yang ketat terhadap keaslian hadits.
Kata Kunci: Hadits, hadits maudhu, Ulama hadits, Dampak Negatif, Masyarakat Modern , Ahli Hadits
- PENDAHULUAN
    Nabi Muhammad SAW sangat banyak mewariskan pedoman hidup dan hadits itu sendiri merupakan salah satu contoh pedoman hidup yang diwariskan kepada umatnya yang berfungsi sebagai sumber agama yang kedua setelah al-quran(Dozan, 2021). Hadits, yang secara harfiah berarti percakapan atau laporan, merujuk secara khusus pada segala bentuk penyampaian yang dikaitkan dengan ucapan maupun tindakan Nabi Muhammad , sebagaimana dikisahkan kembali oleh para sahabat beliau. Dalam tradisi keilmuan Islam, hadits diklasifikasikan ke dalam dua golongan utama: pertama, hadits Qudsi yaitu firman Tuhan yang disampaikan melalui perantara lisan Nabi Muhammad, sebagai wahyu non-Qur'ani yang memiliki nilai spiritual mendalam; kedua, hadits Nabawi atau hadits Syarif yakni segala perkataan, perilaku, dan ketetapan Nabi Muhammad sendiri yang menjadi teladan umat. Dalam kedudukannya, hadits bukan sekadar dokumentasi sejarah, melainkan fondasi kedua dalam struktur hukum Islam setelah al-Qur'an. Ia berfungsi sebagai penjelas dan penjabaran terhadap ajaran-ajaran dalam al-Qur'an, meliputi urusan sosial, ibadah, hingga etika keseharian. Bahkan perkara kecil seperti cara mengenakan alas kaki pun tak luput dari perhatian Nabi dan dicatat dalam hadits sebagai panduan hidup umat Islam sepanjang zaman. Â
    Meskipun Hadits memegang peranan penting sebagai pilar kedua ajaran Islam setelah al-Qur'an, pada awal perkembangan Islam, pencatatannya belum dilakukan secara formal seperti halnya mushaf al-Qur'an. Kala itu, Hadits hanya dituliskan secara pribadi oleh individu tertentu. Upaya kodifikasi resmi baru memperoleh momentum saat kekuasaan berada di tangan Umar bin Abdul Aziz pada abad kedua Hijriah, yang memulai era pembukuan sunnah Nabi secara sistematis demi menjaga orisinalitasnya(Arifatul, 2023). Pembukuan al-Qur'an menjadi suatu keniscayaan kala itu, dipicu oleh gugurnya sejumlah besar para penghafal al-Qur'an dalam berbagai pertempuran. Sementara itu, hadits mulai dikodifikasikan sebagai langkah antisipatif terhadap maraknya upaya pemalsuan yang berpotensi menodai kemurniannya. Kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur'an membuatnya menjadi target bagi sebagian pihak yang berkepentingan termasuk golongan yang menyimpang sebagai celah untuk meraup manfaat pribadi atau melemahkan kelompok lain.Â
    Kemunculan hadits palsu (maudhu') menjadi sorotan kontroversial, terutama di masa awal penyebarannya. Ironisnya, tidak sedikit dari hadits-hadits tersebut yang tampak bernilai positif di permukaan seperti mendorong amalan sunnah atau menyisipkan keutamaan dalam ibadah tertentu meskipun secara otoritatif, kandungan dan sanadnya tidak bisa dipertanggung jawabkan(Anam et al, 2022). Hadits maudhu', atau hadits yang dianggap palsu. hadits maudhu' berawal dari pertentangan politik yang terjadi pada masa khalifah Ali Bin Abi Thalib yang berujung pada pembuatan hadits-hadits palsu yang tujuannya adalah untuk mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang tertentu. Tersebarnya hadits-hadits semacam itu diseluruh wilayah islam telah meninggalkan dampak negative yang luar biasa, diantaranya terjadi perusakan pada segi aqidah, syari'ah dan lainya. Menurut Ahmad amin, bahwa hadist maudu' telah terjadi pada masa rasulullah SAW masih hidup. Alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda rasulullah SAW. Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka." (HR. Bukhari, dan Muslim). Meyakini dan mengamalkan hadist maudhu merupakan kekeliruan yang besar, karena meskipun ada hadist maudhu yang isinya baik, tetapi kebanyakan hadist palsu itu bertentangan dengan jiwa dan semangat Islam, lagi pula pembuatan hadist maudhu merupakan perbuatan dusta kepada Nabi Muhammad saw(Anshory et al, 2025).Â
    Tersebarnya hadits maudhu ini merupakan sebuah musibah besar yang menimpa umat muslim. Tidak ada pengecualian di antara mereka sekalipun ulama'-ulama', kecuali siapa yang dikehendaki Allah di antara mereka dari kalangan para ulama' Ahli Hadits dan penelitinya sepert Imam Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Main, Abu Hatim Ar Razi dan selain mereka. Dan dampak yang timbul dari penyebarannya adalah adanya kerusakan yang besar. (Karena) di antara hadits-hadits dhaif dan maudhu itu, terdapat masalah (yang berkenaan dengan) keyakinan kepada hal-hal ghaib, dan juga masalah-masalah syari'at. Oleh karena itu sangat dikhawatirkan akan memberikan dampak yang lebih buruk lagi terhadap masyarakat sekarang ini yang kita ketahui sendiri bahwa kurang memiliki rasa ingin tahu maka akan sangat mudah dibodohi oleh hoax seperti hadits maudhu dan sebagainya.Â
- PEMBAHASAN Â