Dulu, membaca adalah kebiasaan wajar. Bahkan, terlalu wajar sampai tak perlu dibicarakan.Â
Kita tumbuh di zaman ketika surat kabar masih jadi teman pagi, buku jadi hadiah terbaik, dan majalah anak-anak jadi harta karun tiap akhir pekan.
Namun kini, membaca seakan berubah jadi kegiatan langka. Layaknya ritual kuno yang tak banyak lagi peminatnya.
Anehnya, kita hidup di zaman paling mudah untuk membaca. Segalanya ada di layar. Artikel, buku, jurnal, dan kisah apa pun bisa kita temukan hanya dengan mengetik beberapa kata.Â
Literasi Baca Negri Kita
Minat membaca kita runtuh. Banyak yang lebih suka membaca komentar dibanding tulisan. Lebih suka menatap notifikasi daripada paragraf.
Krisis membaca di negeri ini bukan hanya nyata, tapi juga masif. Ia bagai penyakit yang dibiarkan menahun. Orang berhenti membaca tanpa sadar.
Mereka tetap menatap layar berjam-jam, tapi tak lagi menyerap makna. Kita berinteraksi dengan huruf setiap hari, tapi bukan untuk memahami---hanya untuk menggulir, mengomentari, bahkan mencari sensasi.
Dan yang lebih menakutkan, krisis membaca ini bukan sekadar soal malas membuka buku. Ia sudah menular ke tingkat yang lebih tinggi: krisis berpikir.Â
Kemampuan membaca yang buruk akan melahirkan pemahaman yang rapuh. Dari pemahaman yang rapuh lahir keputusan yang keliru, dan dari keputusan yang keliru, lahirlah kebijakan yang menyesatkan.
Pemimpin yang Tak Membaca
Kita hidup di negeri yang pernah dipimpin oleh orang-orang yang terang-terangan mengaku tidak suka membaca. Pernyataan seperti itu sering dilontarkan dengan bangga, seolah-olah membaca hanyalah aktivitas bagi akademisi dan kaum cendekia yang "kurang kerjaan."
Padahal dari para pemimpinlah seharusnya lahir teladan membaca. Sebab bangsa besar tidak dibangun oleh kekuasaan semata, tapi oleh kedalaman berpikir.Â
Bung Karno membuktikannya. Di tengah kesibukan memimpin negeri yang baru lahir, beliau masih sempat membaca buku sejarah, filsafat, sampai arsitektur.Â
Hamka membaca hingga menulis tafsir monumental Al-Azhar di dalam penjara. Pramoedya Ananta Toer menulis dan membaca di tengah keterbatasan di Pulau Buru.Mereka tidak menunggu waktu luang untuk membaca, karena bagi mereka, membaca adalah cara untuk tetap hidup.
Virus "Asal Tahu"
Kini, banyak orang merasa sudah cukup dengan "asal tahu." Cukup menonton potongan video dua menit, mendengar cuplikan podcast, lalu merasa paham.Â
Media sosial mengajarkan kita menjadi "serba tahu" tapi tanpa kedalaman. Akibatnya, lahirlah generasi yang cepat menyimpulkan, mudah marah, tapi sulit berpikir jernih.
Kita lebih sering membaca judul tanpa isi, mengutip tanpa sumber, dan mempercayai tanpa verifikasi. Kita kehilangan kebiasaan berhenti sejenak, merenung, dan memahami.
Rutinitas MembacaÂ
Kebiasaan membaca tidak bisa dibentuk dengan slogan. Ia harus dijalankan seperti gaya hidup.Â
Seperti halnya minum kopi setiap pagi atau berolahraga setiap minggu. Ia bukan beban moral, tapi kebutuhan batin.
Mulailah dari hal kecil. Baca satu halaman buku sebelum tidur. Satu artikel reflektif setelah Subuh. Atau satu puisi sebelum berangkat kerja. Sedikit tapi konsisten akan jauh lebih kuat daripada membaca ratusan halaman lalu berhenti selamanya.
Negeri ini sebenarnya tidak sedang kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang yang mau membaca dengan hati. Karena membaca itu melatih empati, membuka jendela batin untuk memahami dunia dari perspektif orang lain.
Maka jangan heran jika hari ini kita mudah terprovokasi, cepat membenci, dan sulit berdialog. Sebab orang yang tidak membaca, akan mudah dimanipulasi.
Senerai Penutup
Kita boleh sibuk, boleh lelah, tapi jangan berhenti membaca. Sebab membaca bukan kegiatan elit.Â
Ini adalah kebiasaan wajar manusia yang ingin tumbuh. Jika hari ini membaca dianggap langka, mungkin karena kita terlalu sibuk menjadi "tahu" tanpa benar-benar mau mengerti.
Salam.
Albar Rahman
Penulis dan social storyteller,
Menulis: bentuk zikir membuat manusia tetap abadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI