Fenomena "tepuk sakinah" belakangan ini mendadak viral. Banyak yang menanggapinya dengan tawa, sebagian menjadikannya lelucon, dan tak sedikit pula yang merasa risih karena menganggap istilah sakinah seharusnya tetap berada di wilayah sakral.
Tulisan kali ini tidak ingin masuk ke perdebatan di atas. Justru saya ingin menelisik maknanya dari sisi lain. Viralnya tepuk sakinah menyimpan pesan dan harapan lebih dalam: ada keresahan yang diam-diam ingin kita bicarakan, tentang rapuhnya ketahanan pernikahan hari ini.
Gimik dan Cermin Sosial
Lucu memang, melihat anak-anak muda tepuk tangan sambil bersorak "Sakinah!" dengan gaya semangat pramuka. Tapi jika kita berhenti sejenak dan merenung, mungkin itu bukan sekadar gimik.
Bisa jadi ini adalah cermin, betapa kita haus akan simbol-simbol keutuhan keluarga. Di tengah gempuran media sosial yang penuh pamer kebahagiaan semu, video "tepuk sakinah" hadir seperti jeda yang ironis.
Viralnya mengingatkan kita bahwa pernikahan bukan sekadar pesta megah, bukan juga sekadar konten romantis dengan caption panjang. Pernikahan, pada dasarnya, adalah perjalanan panjang untuk saling menjaga dan menghargai serta menghormati di antara dua jiwa yang tidak sempurna.
Perceraian di Jombang, Kota Santri, dan Sebuah Ironi
Saya tinggal di Jombang, kota yang disebut-sebut sebagai kota santri. Di sini berdiri banyak pesantren besar, tempat para santri menimba ilmu tentang agama bahkan membangun keluarga sakinah itu sendiri.
Idealnya, kota santri adalah tempat di mana nilai sakinah-mawaddah-warahmah dijaga, bukan sekadar dihafal. Namun, kenyataan kadang berbicara lain.
Data akhir tahun 2025 ini, Pengadilan Agama (PA) Jombang mencatat 2.747 akta cerai telah diterbitkan, dan 70--80 persen di antaranya adalah cerai gugat---diajukan oleh istri. Angka perceraian di Jombang termasuk yang tertinggi di Jawa Timur.
Ironi, di kota yang seharusnya menjadi teladan kesalehan rumah tangga, justru banyak keluarga yang retak. Apakah ini tanda zaman yang berubah? Entahlah. Tapi satu hal yang jelas: membangun rumah tangga kini dibutuhkan ketahanan mental, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk terus belajar saling memahami.
Pernikahan dan Harapan Bersama
Saya pribadi memandang tepuk sakinah ini sebagai bentuk pengingat massal, meskipun dibungkus lelucon. Ia mengingatkan bahwa kita perlu kembali serius memikirkan ketahanan pernikahan. Apapun bentuk medianya, selama bisa menggugah kesadaran bersama, patut diapresiasi.