Sekelumit pernikahan kami yang mendekati usia satu tahun pernikahan. Masih terbeliang baru dan sangat muda usia pernikahan.Â
Untuk itu kami mencoba merenungi laku agar pernikahan menjadi lebih erat lagi hangat saling menguatkan. Nah di momen kemerdekaan ini, kami mencoba merajutnya menjadi falsafah untuk kokohnya sebuah pernikahan.
Beradasarkan artikel sebelumnya yang kami urai berjudul: "Merdeka 'Tanpa' Kemerdekaan". Kami memahami bahwa falsafah sebuah kemerdekaan adalah kedaulatan. Itulah sebabnya, dalam pernikahan juga perlu kedaulatan dan kami terilhami dari falsafah kemerdekaan itu sendiri.Â
Berikut tiga falsafah kemerdekaan dengan memaknai arti kedaulatan. Kami rajut sebagai pondasi rumah tangga muda.
Pertama, Memberi Ruang Kedaulatan untuk Diri Sendiri
Pernikahan sering dipersepsikan sebagai ikatan total, hingga kadang lupa bahwa manusia tetaplah pribadi utuh. Ada benarnya, bahwa pernikahan itu sebaiknya tidak terlalu mengekang agar kedaulatan diri masing-masing terus bertambuh.
Psikolog John Gottman dalam penelitiannya tentang marriage stability menegaskan bahwa pasangan yang sehat justru saling memberi ruang individu, bukan mengekang. Gottman menyebutnya positive sentiment override---rasa percaya yang begitu besar, sehingga pasangan tidak merasa curiga meski salah satunya sibuk dengan ruang pribadinya.
Di rumah, saya tetap punya jam menulis, nyonya punya ruang membaca dan me-time. Kadang saya tenggelam dengan asyiknya menulis, sementara ia sibuk menata rumah.
Aneh tapi nyata, justru momen itu membuat kami semakin rindu dan saling menghargai. Kedaulatan kecil inilah yang kelak menjaga api cinta tetap menyala.
Kedua, Kedaulatan Sebagai Pasangan
Kedaulatan sebagai kedua pasangan sah baik secara tuntunan agama maupun resmi dalam catatan pernikahan kenegaraan. Kami belajar untuk tidak terlalu peduli dengan "mata luar". Entah komentar tetangga, penilaian kerabat, atau ocehan rekan kerja.
Bagi kami, menjaga keintiman lebih utama daripada memikirkan standar orang lain. Penelitian dari Journal of Family Psychology (2019) menemukan bahwa pasangan yang mampu menegaskan batas dengan lingkungan sosial justru memiliki marital satisfaction (perasaan bahagia dalam pernikahan) lebih tinggi. Sebab mereka fokus menjaga kualitas hubungan internal, bukan reputasi eksternal.