Mohon tunggu...
Albar Rahman
Albar Rahman Mohon Tunggu... Lecturer, Editor, Writer and Founder of sisipagi.com

Menulis dan membaca sejarah, penikmat kopi, pecinta budaya juga sastra. Kini menjadi suami siaga untuk nyonya tercinta sebagai pekerjaan tetap.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Zikir Keabadian: Tinta Jadi "Tasbih"

11 Oktober 2025   18:52 Diperbarui: 11 Oktober 2025   18:52 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash.com by. Lawrence Aritao

Ada zikir yang tak bersuara, tapi kekuatannya menembus batas usia manusia. Ia bukan sekadar untaian tasbih, melainkan goresan tinta. Setiap kali kita menulis dengan niat yang jernih, sesungguhnya kita sedang berzikir---mengingat kehidupan agar tak hilang dalam lupa.

Menulis adalah zikir keabadian. Bukan sekadar  menuangkan kata di atas kertas atau layar, tapi peristiwa batin di mana manusia memiliki kesadaran membangun makna

Ketika seseorang menulis, ia sedang menanam makna di tanah waktu---dan berharap, kelak, ada yang menemuinya, memungutnya, lalu tumbuh bersama makna itu.

Teringat kalimat Buya Hamka dalam Tasawuf Modern: "Kalau engkau mati, tinggalkan tulisan, maka tulisanmu akan berbicara untukmu."  Niat untuk tetap hadir, bahkan ketika jasad sudah tak lagi di bumi. Itulah zikir  Keabadian.

Pramoedya Ananta Toer pun menuliskan: "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." 

Dua tokoh besar di atas  tak hanya menulis; mereka berzikir dalam caranya masing-masing. Buya menulis dengan nurani, Pram menulis dengan luka. Keduanya telah melegasikan banyak karya, indahnya: saban hari "berzikir" jadi saksi bisu betapa banyak manusia tercerahkan.

Menulis adalah Zikir Tanpa Tasbih

Sebagai santri, kita belajar bahwa zikir bukan hanya ritual, tapi cara hidup. Zikir artinya mengingat. 

Maka menulis pun, pada dasarnya, adalah upaya mengingat---mengulang kembali makna hidup yang kadang tercecer di jalan waktu. Santri yang menulis sejatinya sedang memperluas makna "dzikrullah", karena ia sedang menulis tentang kehidupan, tentang manusia, tentang Tuhan yang bersembunyi di balik setiap peristiwa.

Gus Dur pernah berujar, "Ibadah utama seorang santri adalah membaca, tirakat paling berkesannya adalah menulis'.

Ungkapan Gus Dur di atas menyarat makna begitu dalam. Sebagai santri ini merupakan tamparan keras dimana hari ini kita lebih nyaman membuka ponsel dari pada lembar buku, kita juga lebih nyaman rebahan sembari scrool media sosial dibandingkan memilih menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Innalillahi, ini tamparan untuk saya pribadi

Tinta adalah "Lilin" Zaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun