Belakangan kami sering tertawa bersama ketika ada yang mengomentari miring tentang kami. Saya kadang berujar, "bodo amat aja ya kita sayang, kita fokus wujudkan rumah impian: jejer Rubicorn dan mobil listrik di bagasinya, hehehe".Â
Ternyata keteguhan kecil di atas membuat kami merasakan nikmatnya menjadi pasangan yang benar-benar berdaulat: tidak terikat pada ekspektasi siapapun selain Allah dan hati kami sendiri.
Akhirnya, kami fokus menjaga keintiman pernikahan yang semakin dalam sebagai wujud kedaulatan sebagai pasangan suami-istri. Ini hal yang jauh lebih penting.
Ketiga, Kedaulatan Membangun Keluarga Kecil
Yang paling menantang adalah fase berikutnya: membangun keluarga kecil. Dalam hitungan minggu alias berbilang 2 bulanan lagi, kami akan menyambut anak pertama. Tentu banyak diskusi tentang bagaimana cara mendidik, menyiapkan rumah tangga yang sehat, hingga urusan kecil seperti perlu atau tidaknya membeli mainan mahal.
Kami akhirnya sepakat untuk memulai kedaulatan pendidikan. Misalnya, anak tidak dikenalkan gadget sejak dini. Penelitian American Academy of Pediatrics (2021)Â menegaskan, paparan gawai sebelum usia dua tahun berhubungan dengan keterlambatan bahasa dan masalah perilaku.Â
Kami sepakat gaya parenting dalam mendidik, tidak membelikan barang untuk "boros" tapi ganti dengan membeli buku sepuasanya agar dunia literasinya berkembang sebaik mungkin. Inilah langkah "kecil" kami membangun kedaulatan keluarga kecil kami.Â
Dalam hemat saya, inilah bentuk kecil dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan keluarga. Tidak mudah memang, tapi siapa lagi yang bisa menjaga kedaulatan keluarga, kalau bukan kami sendiri?
Belajar dari Kemerdekaan Republik KitaÂ
Merdeka bukanlah hadiah, melainkan perjuangan panjang. Begitu pula pernikahan. Ia tidak otomatis bahagia hanya karena ada akad, tanda tangan, atau pesta. Bahagia adalah hasil dari perjuangan sehari-hari, sama halnya dengan bangsa yang harus terus mengisi kemerdekaan.
Ki Hajar Dewantara pernah berkata, "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani." Filosofi ini pun relevan dalam keluarga. Suami-istri harus saling meneladani, bersama membangun kehendak, dan saling mendorong dalam perjalanan rumah tangga.
Kami belajar, menjadi pasangan suami-istri bukan soal siapa yang memimpin dan siapa yang mengikuti, melainkan bagaimana kedaulatan itu dibagi, sehingga masing-masing merasa dihargai.
Semoga Falsafah Ini Menjadi Bekal
Pernikahan kami memang masih belia. Mungkin bagi sebagian orang, pengalaman satu tahun terlalu singkat untuk berbicara falsafah. Tapi justru di masa muda inilah kami belajar meneguhkan pondasi.