Dalam jurnal Journal of Family Psychology, pasangan yang secara aktif mencoba membahagiakan pasangannya memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang lebih tinggi dan resiliensi lebih kuat saat menghadapi konflik.
Saya menyebut ini "kontrak rasa". Sebuah kesepakatan batin: bahwa setiap langkah yang kami ambil bukan untuk menang sendiri, tapi untuk saling memenangkan. Karena pernikahan bukan arena kompetisi, tapi ruang untuk berjuang bersama.
Dan Ketiga, Menyatukan Visi: Bertumbuh Menuju Kemanfaatan
Kami bukan dua manusia yang diam ditempat. Kami terus tumbuh.Â
Buku-buku yang kami baca bertambah. Perspektif pun ikut berubah. Maka kami menyadari: menikah bukan berarti berhenti bertumbuh, tapi menyatukan arah pertumbuhan.
Dari waktu ke waktu, kami duduk bersama menyelaraskan ulang visi. Kami ingin jadi manusia yang lebih berguna.Â
Kami mulai dari langkah kecil: mendaur ulang sampah rumah tangga, berbagi makanan pada tetangga, dan saya pribadi menulis catatan-catatan reflektif untuk pembaca di luar sana.
Sebagaimana yang dikatakan Esther Perel, terapis pernikahan ternama asal Belgia: "Marriage is not the end of growth, it is the most fertile ground for it." Kami memaknainya sebagai panggilan: jangan hanya jadi pasangan yang saling mencintai, tapi pasangan yang bersama menebar kemanfaatan.
Awal dari Parenting
Sebentar lagi kami akan menjadi orang tua. Di sinilah semua pondasi itu akan diuji dan diteruskan.Â
Karena anak bukan hanya belajar dari kata-kata, tapi dari suasana. Penelitian dari Harvard Center on the Developing Child menekankan bahwa iklim emosional rumah tangga sangat memengaruhi perkembangan otak bayi, bahkan sejak dalam kandungan.
Kami ingin rumah kami hangat. Tempat anak kami merasa aman, bukan karena mahalnya popok atau dekorasi kamar, tapi karena ia merasakan cinta antara dua orang tuanya.