Tak semua kisah cinta harus diawali dengan drama panjang, kisah patah hati, lalu jatuh cinta lagi. Tidak semua hubungan harus melalui fase pacaran bertahun-tahun agar bisa yakin melangkah.Â
Terkadang, seperti yang kami alami, keyakinan justru datang cepat. Dalam hitungan bulan, dan dalam jarak yang tak dekat, kami memilih saling percaya untuk menuju ke satu titik: pernikahan.
Hampir setahun usia pernikahan kami kini. Kami sedang menanti buah hati pertama yang sedang tumbuh di rahim ibunya, dengan degup-degup harapan yang semakin nyata.Â
Dalam perjalanannya, ada tiga pondasi yang kami rawat, sederhana namun kokoh. Tiga hal ini yang semoga menjadi alas kuat untuk bertumbuh, bukan hanya sebagai pasangan, tetapi juga sebagai orang tua.
Pertama, Merasa Cukup Di Era Zaman Tak Pernah Puas
Sebagian orang mengira "cukup" adalah hal kecil. Padahal, dalam pernikahan, rasa cukup adalah kemewahan.Â
Kami memulainya dari rumah kontrakan kecil, dengan perabot seadanya. Tapi ini membuat kami tak mengukur cinta dengan benda, melainkan dengan ketulusan.
The Gottman Institute menemukan hasil penelitian yang menekankan bahwa pasangan yang bahagia bukanlah mereka yang punya materi berlimpah, melainkan yang mampu mengelola ekspektasi dan merasa cukup satu sama lain. "Satisfaction is not a product of resources, but of attitude," kata John Gottman, psikolog pernikahan terkemuka.
Rasa cukup menciptakan ketenangan. Kami tak sibuk meniru gaya hidup orang lain.Â
Kami tak terlalu peduli pada definisi sukses versi dunia. Rasa cukup membuat kami mampu melihat keindahan dari hal-hal kecil---secangkir minuman hangat, senyuman pagi, hingga suara detak jantung sang bayi di kandung badan sang ibu.
Kedua, Saling Membahagiakan: Kontrak Rasa Seumur Hidup
Cinta, jika hanya diucapkan, akan cepat menguap. Kami sadar, mencintai adalah pekerjaan harian. Maka kami memilih membahagiakan satu sama lain sebagai bentuk nyata cinta itu. Tindakan kecil: mengingatkan makan, memberi pelukan, mencuci piring, menemani ke bidan, atau sekadar mendengar dengan sungguh.
Dalam jurnal Journal of Family Psychology, pasangan yang secara aktif mencoba membahagiakan pasangannya memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang lebih tinggi dan resiliensi lebih kuat saat menghadapi konflik.
Saya menyebut ini "kontrak rasa". Sebuah kesepakatan batin: bahwa setiap langkah yang kami ambil bukan untuk menang sendiri, tapi untuk saling memenangkan. Karena pernikahan bukan arena kompetisi, tapi ruang untuk berjuang bersama.
Dan Ketiga, Menyatukan Visi: Bertumbuh Menuju Kemanfaatan
Kami bukan dua manusia yang diam ditempat. Kami terus tumbuh.Â
Buku-buku yang kami baca bertambah. Perspektif pun ikut berubah. Maka kami menyadari: menikah bukan berarti berhenti bertumbuh, tapi menyatukan arah pertumbuhan.
Dari waktu ke waktu, kami duduk bersama menyelaraskan ulang visi. Kami ingin jadi manusia yang lebih berguna.Â
Kami mulai dari langkah kecil: mendaur ulang sampah rumah tangga, berbagi makanan pada tetangga, dan saya pribadi menulis catatan-catatan reflektif untuk pembaca di luar sana.
Sebagaimana yang dikatakan Esther Perel, terapis pernikahan ternama asal Belgia: "Marriage is not the end of growth, it is the most fertile ground for it." Kami memaknainya sebagai panggilan: jangan hanya jadi pasangan yang saling mencintai, tapi pasangan yang bersama menebar kemanfaatan.
Awal dari Parenting
Sebentar lagi kami akan menjadi orang tua. Di sinilah semua pondasi itu akan diuji dan diteruskan.Â
Karena anak bukan hanya belajar dari kata-kata, tapi dari suasana. Penelitian dari Harvard Center on the Developing Child menekankan bahwa iklim emosional rumah tangga sangat memengaruhi perkembangan otak bayi, bahkan sejak dalam kandungan.
Kami ingin rumah kami hangat. Tempat anak kami merasa aman, bukan karena mahalnya popok atau dekorasi kamar, tapi karena ia merasakan cinta antara dua orang tuanya.
Kami tahu tantangan akan datang. Tapi pondasi ini yang ingin kami rawat. Karena anak tak hanya butuh sekolah yang bagus, tapi rumah yang baik. Rumah yang penuh kejujuran, kelembutan, dan keberanian menjadi diri sendiri.
Senerai Penutup: Kita Mulai Dari Rumah Ya
Mungkin terdengar muluk. Tapi kami percaya, gerakan besar selalu lahir dari ruang yang sempit.Â
Kami menyebutnya gerakan kemanusiaan dari rumah kontrakan. Tidak harus jadi aktivis. Tidak harus viral. Cukup jadi manusia yang memanusiakan manusia lain.
Kami belajar mengalahkan ego, merawat empati, dan tak memelihara gengsi. Kami memilih menyederhanakan gaya hidup agar bisa lebih mementingkan yang benar daripada sekadar kelihatan benar.
Ini bukan akhir cerita. Kami baru mulai. Tapi tiga pondasi tadi berharga, saling membahagiakan, dan menyatukan visi---semoga bisa menjadi napas panjang, tidak hanya dalam pernikahan kami, tapi juga dalam menjadi orang tua kelak.
Jika Anda yang membaca ini adalah pasangan muda, atau akan menikah, atau tengah menanti anak pertama: semoga tulisan ini bisa jadi cermin kecil. Karena keluarga, sejatinya, adalah tempat memulai semua hal baik---dari yang kecil, namun berdampak panjang.
Salam hangat dari kami yang sedang belajar menjadi orang tua,
dari rumah kontrakan yang penuh cinta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI