Mohon tunggu...
Muhammad Ulil Albab
Muhammad Ulil Albab Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Hanya Seorang Pengembara Yang Sedang Mencari Makna Kehidupan | جامعة الأزهر الشريف | Universitas Indonesia | Let's Follow @albabmhd

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Dinamika Islam dan Politik di Asia Tenggara

1 Juli 2021   12:00 Diperbarui: 19 Januari 2022   19:45 1938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Meskipun penyebaran yang lebih dominan di wilayah Selatan, namun Islam tidak kehilangan peran dalam mewarnai ragam dinamika kehidupan masyarakat pada hampir seluruh kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut tidak terlepas dari penyebaran bangsa Melayu, yang dianggap sebagai representasi Islam, ke berbagai wilayah di Asia Tenggara. Umat Islam pun sering kali turut serta mengambil bagian penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di Asia Tenggara, bahkan merambat jauh hingga menyentuh urusan politik.

Pada dasarnya, Islam dan politik di Asia Tenggara memiliki hubungan yang sangat erat. Dalam beberapa hal, Islam dapat memberi pengaruh dalam situasi politik suatu negara. Hal ini pada umumnya dapat terlihat pada negara-negara yang menerima Islam dengan baik sehingga Islam menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di negara-negara tersebut. Sebaliknya, dalam hal yang lain, politik juga dapat memberi pengaruh pada eksistensi Islam pada suatu negara. Hal ini pada umumnya dapat terlihat pada negara-negara yang kurang menerima Islam dengan baik sehingga pemeluk Islam menjadi minoritas di negara-negara tersebut.

Melihat sejarahnya, beberapa penelitian menyebutkan bahwa Islam sudah terdeteksi di Asia Tenggara sejak abad ke-13. Pada tahun 1282, Penguasa Hindu-Malaya di Sumatera sudah memiliki sejumlah penasihat muslim. Marco Polo juga telah melaporkan keberadaan komunitas muslim di Pasai pada tahun 1292. Pada tahun 1345 - 1346, Ibnu Battuta menemukan sejumlah ulama bermazhab Syafii di Sumatera (Lapidus, 2000; Yatim, 2008).

Ada juga penelitian lain yang menyebutkan bahwa keberadaan Islam di Asia Tenggara sudah terdeteksi bahkan sejak abad ke-7. Terlepas dari perbedaan para ahli sejarah dalam menentukan kapan Islam pertama kali muncul di Asia Tenggara, semua sepakat bahwa Islam sudah eksis di Asia Tenggara sejak berabad-abad yang lalu, bahkan sebelum periode kedatangan bangsa Barat dalam misi imperialisme dan kolonialisme mereka di Asia Tenggara.

Sejarah juga mencatat bahwa kerajaan-kerajaan Islam telah banyak bermunculan di Asia Tenggara, seperti halnya kerajaan Samudera Pasai dan kerajaan Perlak di Sumatera, bahkan jauh sebelum kedatangan bangsa Barat. Dalam praktiknya, para raja tidak hanya dianggap sebagai pemimpin dalam urusan politik, namun juga pemimpin dalam urusan spiritual. Hal tersebut menyiratkan bahwa Islam dan politik telah berbaur sedemikian rupa dalam ruang lingkup yang sangat luas. Dalam perkembangannya, kerajaan-kerajaan Islam semakin banyak bermunculan akibat pengaruh penindasan yang dilakukan penjajah dari bangsa Barat, seperti halnya kerajaan Banten di Jawa Barat dan Jawa Tengah serta kesultanan Johor di Semenanjung Malaya, meskipun pada hakikatnya peran para raja dalam urusan politik mulai memudar (Lapidus, 2000; Yatim, 2008).

Menurut Ira M. Lapidus (2000) dalam A History of Islamic Society, Islam di Asia Tenggara pada masa penjajahan Barat telah terlembaga pada tiga tingkatan berbeda, yaitu:
a. Tingkat negara (dalam bentuk kerajaan)
b. Tingkat komunitas ulama (dalam bentuk pesantren)
c. Tingkat kampung (dalam bentuk perkumpulan masyarakat)

Pandangan Ira M. Lapidus tersebut semakin menunjukkan bahwa Islam, sejak dahulunya, tidak hanya menjadi urusan personal atau sebatas privasi masyarakat Asia Tenggara saja, melainkan sudah melanglang buana, bahkan sampai pada urusan politik. Tak aneh jika Islam dan Umat Islam dapat mempengaruhi dan dipengaruhi keberadaannya oleh urusan politik negara-negara di Asia Tenggara. Hal tersebut dapat tercermin bagaimana Islam memiliki andil besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan Malaysia. Selain itu, konflik yang terjadi di Kamboja, Filipina, Thailand, dan Myanmar juga memiliki sangkut paut dengan keberadaan umat Islam di negara-negara tersebut.

Di Indonesia dan Malaysia, Islam diterima dengan sangat baik hingga bahkan menjadi mayoritas agama yang dianut masyarakat. Umat Islam juga tak mau kalah dengan perjuangan kelompok nasionalis sehingga berani menunjukkan taring mereka dalam perjuangan mengusir penjajah dari tanah air mereka. Melalui kolaborasi perjuangan antara kelompok nasionalis dan kelompok religius, imperialisme dan kolonialisme bangsa Barat berhasil dihapuskan.

Pasca kemerdekaan, kolaborasi perjuangan antara kelompok nasionalis dan kelompok religius tak bertahan lama. Di Indonesia, kelompok religius saling berbeda pandangan. Sebagian kelompok sudah merasa puas dengan kemerdekaan Indonesia, namun sebagian yang lain masih menyimpan ambisi menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara Islam. Perbedaan pandangan tersebut menyebabkan kelompok Islam tercerai berai dan berdampak pada kurangnya dukungan publik. Alhasil, kelompok nasionalis berhasil mengambil alih kekuasaan penuh setelah memenangkan Pemilu tahun 1955. Hal tersebut semakin diperparah dengan kebijakan Soekarno yang sempat memberikan tempat kepada kelompok komunis sehingga memicu bentrokan. Pandangan Soekarno terhadap Islam dan negara juga menyerupai pandangan Mustafa Kamal Attaturk di Turki, di mana Soekarno ingin menghadirkan visi Islam sebagai agama personal di dalam konteks negara nasional yang sekuler (Muzani, 1993; Lapidus, 2000).

Pasca kekalahan kelompok komunis dan jatuhnya rezim Soekarno, Soeharto mengambil alih kekuasaan dan mendirikan rezim baru yang bergerak semakin jauh ke arah kekerasan. Soeharto bahkan memberikan pengawasan ketat terhadap pergerakan Islam. Secara umum, kebijakan Soekarno dan Soeharto hampir serupa dengan kebijakan Belanda yang sama-sama membedakan antara aspek religius dan aspek politik, dengan mentolerir aspek religius namun menekan aspek politiknya, sehingga menghancurkan kekuatan politik sejumlah pergerakan Islam. Pasca kekuasaan rezim Soeharto dan setelahnya pun, tidak ada perubahan yang begitu berarti. Islam tidak lagi dapat berbicara banyak dalam urusan politik, meskipun umat Islam berstatus menjadi mayoritas di Indonesia (Muzani, 1993; Lapidus, 2000).

Di Malaysia, kelompok religius terbentur proyek integrasi nasional yang berhubungan dengan India dan Tiongkok. Malaysia dihadapkan pada pilihan antara mempertahankan dukungan kelompok religius atau mewujudkan integrasi nasional melalui kerja sama dengan India dan Tiongkok. Benturan tersebut juga membuat kelompok Islam berhasil dilemahkan eksistensinya di Malaysia. Di samping itu, kelompok Islam di Malaysia juga terpecah belah dalam berbagai pandangan ideologi. Hal tersebut semakin melemahkan kekuatan kelompok religius dalam urusan politik di Malaysia (Muzani, 1993; Lapidus, 2000).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun