Dalam riuhnya dunia pendidikan modern yang terus berlari mengejar perubahan, ada sosok-sosok tenang yang memilih untuk berjalan dengan hati. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi mendidik, menuntun, bahkan meneduhkan. Salah satu sosok itu adalah Ustadz Muhammad Luthfi Al-Jundi, S.Pd.I, guru dan wali kelas X KUI Soul Tech di Madrasah Aliyah (MA) Al-Azhar Asy-Syarif Sumatera Utara.
Nama beliau kini tak hanya dikenal oleh para santri, tapi juga oleh rekan-rekan sejawatnya sebagai guru inspiratif yang mampu menanamkan nilai-nilai Islam melalui pendekatan yang lembut, sabar, dan penuh makna.
Bagi Ustadz Luthfi, mengajar bukan hanya tentang menyampaikan ilmu, tetapi tentang menyalakan cahaya di hati para siswa agar mereka mengenal potensi dirinya dan tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Setiap hari ia berusaha menghadirkan semangat baru di ruang kelas, seolah setiap pertemuan adalah kesempatan emas untuk menanamkan nilai kehidupan.
 Filosofi Hidup: "Jangan Paksa Ikan untuk Terbang"
Dalam setiap kesempatan berbicara dengan siswa atau sesama guru, Ustadz Luthfi kerap mengulang kalimat yang kini menjadi semacam mantra kebijaksanaan baginya:
"Jangan paksa ikan untuk terbang. Jangan paksa ayam untuk berenang. Dan jangan paksa kuda untuk memanjat pohon."
Bagi beliau, kalimat ini bukan sekadar pepatah indah, tetapi falsafah hidup dalam mendidik. Setiap anak memiliki bakat dan jalan unik menuju keberhasilan. Tugas guru adalah menemani dan menuntun mereka menemukan potensi terbaiknya --- bukan menuntut mereka menjadi sama.
"Ketika saya melihat ada anak yang lemah di satu bidang, saya selalu yakin bahwa dia punya kekuatan di bidang lain," tuturnya lembut suatu pagi di ruang guru. "Tugas kita bukan membandingkan, tapi menumbuhkan."
Pandangan ini membuat beliau dikenal sebagai guru yang jarang marah. Bukan karena tidak tegas, melainkan karena ia memahami setiap perilaku anak sebagai pesan yang perlu dibaca dengan hati. Ia percaya bahwa dengan cara pandang positif, guru bisa menjaga ketenangan hati sekaligus membangun semangat belajar dalam diri para siswa.
 Menanamkan Nilai Islam dengan Cinta dan Keteladanan
Sebagai pendidik di lingkungan madrasah, Ustadz Luthfi sadar bahwa tanggung jawabnya tidak berhenti pada transfer ilmu. Ia harus menanamkan nilai-nilai Islam melalui teladan dan dialog yang menyentuh hati.
"Kalau saya menemukan anak melakukan sesuatu yang kurang baik, saya tidak langsung menegur keras. Saya ajak bicara. Saya dengarkan dulu. Setelah itu baru saya sisipkan nilai-nilai Islam agar dia bisa memahami dengan hati, bukan karena takut," ungkapnya.
Pendekatan ini terbukti berhasil. Banyak siswa yang awalnya keras kepala justru berubah menjadi pribadi yang lebih terbuka dan reflektif. Mereka merasa dihargai, bukan dihakimi. Ditegur dengan kasih, bukan dengan amarah.
Itulah yang membuat hubungan antara Ustadz Luthfi dan murid-muridnya begitu dekat - hubungan yang dibangun atas dasar rasa saling percaya dan cinta karena Allah.
Kolaborasi Guru dan Orang Tua: Sinergi untuk Karakter Anak
Ustadz Luthfi tidak pernah lelah mengingatkan pentingnya kolaborasi antara guru dan orang tua.
Ia menilai, pendidikan karakter adalah proyek bersama antara madrasah dan keluarga.
"Saya selalu menjaga komunikasi dengan orang tua. Karena mereka lebih tahu kehidupan anak di rumah. Kalau saya melihat perubahan perilaku di sekolah, saya langsung menghubungi mereka. Kami bicarakan dengan baik-baik," tuturnya.
Melalui kerja sama yang erat itu, banyak persoalan siswa terselesaikan tanpa konflik. Ia tidak pernah menilai dari satu sisi, tetapi selalu mencari akar masalah.
Pendekatan ini menjadi teladan di lingkungan Al-Azhar Asy-Syarif Sumatera Utara, di mana guru dan wali murid berjalan beriringan, bukan berseberangan, dalam membentuk generasi yang saleh dan cerdas.
Menjadi Pendengar bagi Siswa Bermasalah
Setiap tahun ajaran baru, tantangan selalu hadir. Dari siswa yang sulit beradaptasi, hingga yang menyimpan beban emosional.
Namun bagi Ustadz Luthfi, tidak ada anak yang benar-benar "nakal" - hanya anak yang belum dipahami.
Ia sering memancing siswa untuk bercerita. "Biasanya saya mulai dengan hal ringan, seperti menanyakan kabar atau kegiatan mereka di asrama. Lama-lama mereka terbuka, bahkan cerita hal-hal yang tidak pernah disampaikan kepada orang tuanya," tuturnya.
Dalam momen seperti itu, beliau tidak hanya menjadi guru, tapi juga tempat curhat dan sandaran hati. Ia percaya bahwa setiap curhatan adalah pintu menuju perubahan. Dari situ ia bisa menyisipkan nasihat Islami, motivasi, dan semangat untuk memperbaiki diri.
"Kadang saya tidak memberi solusi langsung. Saya hanya mendengarkan. Tapi dari situ mereka merasa lebih tenang. Itulah kekuatan mendidik dengan hati," tambahnya.
Kisah Perubahan: Dari Pendiam Menjadi Percaya Diri
Di antara banyak cerita inspiratif, ada satu yang selalu membekas di hati Ustadz Luthfi - kisah seorang siswa bernama Faiz Abdullah.
"Ketika pertama kali masuk madrasah, Faiz sangat pendiam. Ia jarang bicara, bahkan sekadar menatap guru pun tampak berat," kenangnya.
Namun, lewat pendekatan sabar dan personal, perubahan mulai tampak. Ustadz Luthfi sering mengajaknya berbincang di sela istirahat, memberi kepercayaan menjadi penanggung jawab tugas kecil, dan memujinya setiap kali menunjukkan usaha.
Sedikit demi sedikit, Faiz berubah -dari siswa pemalu menjadi sosok yang aktif, percaya diri, bahkan kini dipercaya menjadi koordinator kelas.
"Melihat perubahan seperti itu adalah kebahagiaan luar biasa bagi seorang guru," ucap Ustadz Luthfi dengan senyum lembut.
Bagi beliau, hasil belajar tidak selalu diukur dari angka, melainkan dari perubahan karakter dan semangat hidup siswa. Itu yang membuat setiap jerih payahnya terasa bermakna.
 Keteladanan di Tengah Ujian
Tugas sebagai wali kelas memang tidak mudah. Ada masa-masa di mana kesabaran benar-benar diuji.
Salah satunya terjadi ketika sebagian siswa sempat membuat "manajemen palsu" yang menghebohkan. Saat itu, Ustadz Luthfi sedang sakit. Ketika kembali ke madrasah, ia mendapati kabar yang mengecewakan.
"Saya kecewa, tentu saja. Tapi saya tahan amarah. Saya panggil mereka satu per satu, saya dengarkan alasan mereka," katanya.
Hasilnya mengejutkan. Ternyata sebagian besar anak tidak paham dampak dari perbuatannya - hanya ikut-ikutan. Dari situ beliau belajar bahwa tidak ada keputusan bijak tanpa pemahaman yang mendalam.
Peristiwa itu justru mempererat hubungan antara beliau dan para siswa. Mereka belajar tentang tanggung jawab, sementara beliau belajar tentang pentingnya kesabaran dalam mendidik.
Kini, kisah itu menjadi salah satu contoh bagaimana kesalahan bisa menjadi pelajaran yang menyatukan, bukan memisahkan.
 Menjaga Semangat di Tengah Padatnya Amanah
Mengajar sejak pagi hingga sore tentu melelahkan. Tapi Ustadz Luthfi punya cara tersendiri menjaga semangatnya agar tidak pudar.
Setiap pagi, sebelum masuk kelas, ia meluangkan waktu 15-20 menit mendengarkan ceramah motivatif dari para ustadz yang ia kagumi.
"Dari situ saya dapat energi baru. Saya catat hal-hal penting, lalu kadang saya bagikan kembali kepada anak-anak di kelas," tuturnya.
Ia juga punya kebiasaan duduk bersama siswa saat belajar atau mengerjakan tugas.
"Saya ingin mereka tahu bahwa guru pun belajar. Dari situ muncul rasa kebersamaan. Saya tidak hanya mengajar, tapi tumbuh bersama mereka," ujarnya.
Bagi beliau, semangat mengajar harus dijaga dengan kesadaran spiritual. Karena sejatinya, mendidik bukan rutinitas, tetapi ibadah.
Kisah Mengharukan di Balik Lomba Melukis
Salah satu kisah yang menunjukkan betapa lembut dan sabarnya Ustadz Luthfi adalah saat lomba melukis di sekolah.
Waktu itu, siswa yang ia daftarkan menolak ikut lomba karena malas dan tidak percaya diri. Namun Ustadz Luthfi tidak menyerah. Ia datang ke kamar siswa itu, memberi motivasi, bahkan mengantarnya langsung ke lokasi lomba.
"Awalnya dia diam saja, melukis tanpa semangat. Tapi saya terus beri ide dan dorongan. Akhirnya dia fokus, dan hasilnya luar biasa. Ia jadi juara," ujarnya bangga.
Momen itu bukan hanya tentang kemenangan, tapi tentang keberhasilan menumbuhkan kepercayaan diri seorang anak.
"Itu jauh lebih penting dari pialanya," tambahnya.
Makna Menjadi Wali Kelas
Bagi Ustadz Luthfi, menjadi wali kelas bukan sekadar jabatan administratif. Itu adalah amanah spiritual dan moral.
Setiap hari, ia mendampingi 24 siswa dari pukul 07.00 hingga 17.00. Di situlah ia belajar tentang kesabaran, empati, dan cinta yang tak bersyarat.
"Wali kelas harus mampu menjadi teladan di tengah gempuran emosi. Anak-anak punya karakter berbeda, dan setiap perbedaan adalah ujian bagi guru," ujarnya.
Ia mengakui, terkadang lelah itu datang. Tapi setiap kali melihat wajah-wajah antusias para siswa, lelah itu berubah menjadi energi.
"Rasanya seperti melihat anak sendiri tumbuh dewasa," katanya lirih.
Keteladanan yang Menyala di Madrasah
Bagi lingkungan MA Al-Azhar Asy-Syarif Sumatera Utara, sosok Ustadz Muhammad Luthfi Al-Jundi, S.Pd.I bukan hanya guru, tetapi juga inspirasi. Beliau mengajarkan bahwa pendidikan bukan sekadar tentang nilai rapor, melainkan tentang membangun manusia seutuhnya-yang cerdas, berakhlak, dan beriman.
"Ustadz Luthfi itu sosok yang sabar sekali," ujar salah satu siswanya. "Kalau kami salah, beliau tidak marah. Tapi caranya menasihati bikin kami malu sendiri dan ingin berubah."
Penutup: Guru, Cahaya di Tengah Gelapnya Zaman
Di tengah perubahan zaman yang sering menggerus nilai moral, sosok seperti Ustadz Muhammad Luthfi Al-Jundi, S.Pd.I menjadi pengingat bahwa pendidikan sejati selalu bersumber dari cinta, kesabaran, dan keikhlasan.
Beliau adalah potret nyata dari firman Allah dalam Surah Al-Mujadilah ayat 11: "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."
Dengan langkah yang tenang dan hati yang tulus, Ustadz Luthfi terus menyalakan cahaya di ruang-ruang kelas, mengantarkan generasi muda menuju masa depan yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berakhlakul karimah. Karena bagi beliau, menjadi guru bukan sekadar pekerjaan - melainkan jalan menuju surga.
Tulisan ini menggambarkan sosok inspiratif Ustadz Muhammad Luthfi Al-Jundi, S.Pd.I, guru sekaligus wali kelas X KUI Soul Tech di Madrasah Aliyah (MA) Al-Azhar Asy-Syarif Sumatera Utara, yang dikenal karena ketulusan, kesabaran, dan pendekatan mendidik dengan hati.
Bagi Ustadz Luthfi, mengajar bukan sekadar mentransfer ilmu, tetapi juga menyalakan cahaya di hati siswa agar mereka menemukan jati diri dan tumbuh menjadi pribadi berakhlak mulia. Filosofinya, "Jangan paksa ikan untuk terbang", menggambarkan keyakinannya bahwa setiap anak memiliki potensi unik yang harus dihargai dan dikembangkan tanpa paksaan atau perbandingan.
Dalam kesehariannya, beliau menanamkan nilai-nilai Islam dengan cinta dan keteladanan. Saat menghadapi siswa bermasalah, ia memilih dialog dan pendekatan lembut, bukan kemarahan. Ia juga aktif menjalin kolaborasi dengan orang tua, meyakini bahwa pendidikan karakter adalah tanggung jawab bersama antara guru dan keluarga.
Sebagai pendengar yang baik, Ustadz Luthfi sering menjadi tempat curhat bagi siswanya. Dari momen-momen sederhana itulah ia menanamkan nasihat dan motivasi Islami. Banyak kisah perubahan lahir dari sentuhannya, seperti siswa pendiam yang kini tumbuh percaya diri atau santri yang kembali semangat belajar setelah merasa didengar.
Ujian dan kesalahan siswa pun ia jadikan peluang untuk menumbuhkan tanggung jawab, bukan untuk menghukum. Ia percaya, kesabaran adalah kunci dalam mendidik. Untuk menjaga semangatnya, ia rutin mendengarkan ceramah motivatif setiap pagi dan berusaha tumbuh bersama siswa dalam proses belajar.
Salah satu kisah yang membekas adalah saat ia membimbing siswa yang enggan ikut lomba melukis hingga berhasil menjadi juara, membuktikan bahwa keyakinan dan dukungan tulus bisa menumbuhkan kepercayaan diri.
Bagi Ustadz Luthfi, menjadi wali kelas adalah amanah spiritual, bukan tugas administratif semata. Ia mendampingi 24 siswa setiap hari dengan penuh cinta, kesabaran, dan keikhlasan. Sosoknya diakui sebagai teladan di MA Al-Azhar Asy-Syarif, dihormati bukan karena ketegasan semata, tetapi karena ketulusan dan keteladanan.
Pada akhirnya, sosok Ustadz Luthfi mencerminkan makna sejati dari firman Allah dalam Surah Al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu. Ia adalah cahaya di tengah gelapnya zaman, guru yang tak hanya mencerdaskan pikiran, tetapi juga menumbuhkan jiwa dan akhlak generasi muda.
*****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI