Tantangan yang Menguras Emosi
Tidak ada perjalanan mendidik yang benar-benar bebas dari ujian. Setiap hari menghadirkan tantangan baru, dan bagi seorang wali kelas seperti Ustadzah Novira, sebagian tantangan itu datang dari hal-hal yang paling tidak terduga --- pelanggaran berat yang dilakukan oleh seorang santriwati. Saat kejadian itu terjadi, campuran perasaan menyelimuti hatinya: kecewa, sedih, khawatir, bahkan sedikit rasa takut akan dampak terhadap suasana kelas.
Alih-alih bereaksi dengan kemarahan atau kata-kata yang menyinggung, Ustadzah Novira memilih menenangkan diri terlebih dahulu. Ia menarik napas panjang, menata pikirannya, dan memastikan bahwa tindakannya akan mendampingi, bukan menghukum semata. Dengan langkah tenang, ia memanggil santriwati tersebut, menatap matanya dengan penuh perhatian, dan mendengarkan setiap kata penjelasan dari hati ke hati. Tidak ada celaan yang menyakitkan, hanya ruang untuk pengakuan, refleksi, dan pembelajaran.
"Saya merasa seperti seorang ibu yang anaknya salah langkah. Tapi saya tahu, anak ini masih bisa diselamatkan. Maka saya tegur dengan lembut, saya beri konsekuensi yang adil, lalu saya peluk dengan doa," ujarnya pelan, suaranya penuh ketulusan. Kata-kata itu bukan sekadar nasihat, tetapi perwujudan cinta yang mengalir dalam setiap tindakan guru yang memahami makna mendidik secara menyeluruh.
Bagi Ustadzah Novira, menjadi wali kelas berarti siap terluka secara emosional, karena ketika kita benar-benar peduli, hati kita akan ikut merasakan setiap kegagalan dan kesalahan santriwati. Tetapi ia juga percaya bahwa cinta sejati dalam pendidikan selalu diiringi kesabaran dan empati. Teguran yang disampaikan bukan untuk menghukum, melainkan untuk membimbing santriwati kembali ke jalan yang benar, agar mereka belajar memahami konsekuensi dari tindakan mereka dengan hati yang lapang, bukan karena takut atau rasa bersalah yang menghancurkan.
Momen seperti ini mengajarkan banyak hal bagi Ustadzah Novira sendiri. Ia belajar menyeimbangkan antara disiplin dan kasih sayang, antara ketegasan dan kelembutan. Ia menyadari bahwa setiap pelanggaran bukan hanya kesalahan yang harus diperbaiki, tetapi juga kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai tanggung jawab, kejujuran, dan keberanian mengakui kesalahan. Dalam proses itu, hubungan antara guru dan santriwati semakin dalam; kepercayaan yang lahir dari komunikasi yang jujur dan tulus menjadi pondasi kuat bagi pertumbuhan karakter mereka.
Akhirnya, melalui pengalaman emosional yang menantang ini, Ustadzah Novira semakin yakin bahwa mendidik adalah seni hati. Tidak cukup sekadar mengajar materi pelajaran, tetapi juga menemani santriwati menghadapi kesalahan mereka, menuntun mereka belajar dari pengalaman, dan tetap menyalakan semangat mereka untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Karena di balik setiap ujian yang menguras emosi, ada kesempatan bagi guru untuk menanamkan keteguhan, kesabaran, dan cinta tanpa syarat dalam hati santriwati.
Konsistensi dan Energi yang Tak Pernah Padam
Menjalani tugas dari pukul 07.00 hingga 17.00 setiap hari tentu bukan perkara ringan. Bagi banyak orang, rutinitas panjang seperti ini bisa menjadi beban fisik dan mental yang berat. Namun bagi Ustadzah Novira, setiap hari di sekolah bukan sekadar menjalankan kewajiban, melainkan perjalanan spiritual dan ladang pahala. Kesadaran inilah yang memberi energi dan motivasi untuk tetap konsisten meskipun tubuh lelah dan tantangan terus berdatangan.