Selama era pemerintahan Joko Widodo -- Jusuf Kalla data yang dikumpul penulis terdapat tiga gelombang eksekusi mati periode 2015-2016 dengan jumlah 18 orang orang. Sedangkan  jumlah total vonis terpidana mati periode Januari 2015 -- September 2018 sebanyak 254 orang dengan jumlah laki-laki sebanyak 243 orang dan jumlah perempuan sebanyak 11 orang. Sebaran wilayah paling banyak yang menerapakan hukuman mati terbanyak terdapat pada wilayah pulau Jawa dan Sumatera. Dan sisanya tersebar di wilayah lainnya di Indonesia. Hal ini diklaim untuk menimbulkan efek jera. Adapun pelanggaran-pelanggaran yang terjadi saat pasca-eksekusi:
Pada eksekusi terpidana mati gelombang pertama, terjadi pelanggaran terkait jaminan kebebasan beragama, dimana Marcho Archer Cardoso Moreira terpidana mati asal Brasil ini tidak mendapat kesempatan melakukan proses sakramento (ibadah ekaristi dan pengakuan dosa). Persoalan kedua, eksekusi terhadap Daniel Enemua, 38 Tahun, warga Negara Nigeria.
Pelanggaran dalam eksekusi kedua terjadi pada kasus Rodrigo Gularte (warga Brazil terpidana mati kasus narkotika), yang menderita schizophrenia dan bipolar. Sesuai dengan surat dokter kejiwaan Rumah Sakit Cilacap pada saat itu, Rodrigo tidak boleh dieksekusi mati, tapi harus dibawa ke rumah sakit jiwa. Sebagaimana berdasarkan pasal 44 KUHP, pemilik gangguan kejiwaan tidak bisa menerima hukuman pidana, apalagi hukuman mati.
Pada eksekusi ketiga, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) juga telah menemukan dugaan adanya pelanggaran admisnistrasi (maladministrasi) dalam proses pelaksanaan eksekusi mati terhadap narapidana kasus narkoba, Humphrey Ejike Jefferson. Dalam kajian Ombudsman Republik Indonesia (ORI), yang seharusnya, kejagung menunda eksekusi lantaran Humprhey alias Doctor sedang mengajukan grasi sebagaimana diatur dalam pasal 13 UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang grasi. Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa, eksekusi tidak dapat dilakukan sebelum keputusan Presiden tentang grasi keluar.
Sebagai Negara hukum, tentu perlu bertindak tegas dalam hal penegakannya. Namun, terkait dengan 'pencabutan nyawa' seseorang melalui praktik hukuman mati, perlu dipertimbangkan secara matang, karena hukuman mati saat ini sebetulnya sudah tidak sejalan lagi dengan tujuan dan semangat pemidanaan. Berikut akan saya ajukan empat alasan mengapa, hukuman mati perlu dihapus.
Pertama, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menerapkan penghapusan terhadap hukuman mati sebagai Universal Goal pada tahun 1971 dan 1977. Tertulis bahwa harus ada progressive restriction on the number of offences for which the death penalty might be imposed with a view to abolition8. Sejak saat itu, beberapa Negara di dunia memulai penghapusan hukuman mati. Hingga saat ini tercatat sudah 107 negara yang menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan, 7 negara telah menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa9.
Indonesia sendiri sebetulnya telah diatur di dalam pasal 28 I UUD 1945 tentang Hak untuk hidup seseorang yang sifatnya non-derogable rights. Hak tersebut tidak dapat dicabut dalam keadaan apapun, selain itu Indonesia juga telah melakukan ratifikasi International Convenant and Political Rights (ICCPR) yang secara tegas mengatur penjaminan hak untuk hidup di dalam pasal 6 yang berbunyi: "Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life". Artinya jelas, bahwa Negara sebenarnya harus menghormati dan melindungi HAM.
Kedua, sebuah studi menunjukan bahwa praktik hukuman mati juga 'belum' bisa menjadi solusi untuk menurunkan angka kejahatan (Studi Michael Radelet dan Traci Lacock, 2009). Penegakan hukum tindak pidana mati justru (kebanyakan) terbuka luas bagi mereka yang miskin dan tidak dapat mengakses hukum secara layak. Di sisi lain, sifat penerapan hukuman mati yang irreversible dimana keadaan tersebut tidak dapat dikembalikan pada saat sudah diekseskusi.
Ketiga, hukuman mati ternyata tidak bisa meng-efekjera-kan. Kalau meng-efekjera-kan pun, sasarannya kepada siapa? Toh pelaku sudah dibunuh. Kalau mengacu pada terpidana mati kasus narkotika, factor yang paling berpengaruh bagi orang yang menjadi kurir atau bandar narkoba, ialah karena masalah ekonomi, pernah mengalami kekerasan fisik, emosi atau seksual yang notabene adalah tugas pemerintah, baik sektor ekonomi serta penegakan hukum.
Keempat, menurut saya, hukuman mati juga adalah sebuah tindakan 'melawan kodrat' dan tidak berperikemanusiaan. Bahwa soal mencabut eksistensi diri seseorang terlepas dari apa yang ia lakukan, bukan lagi wewenang manusia karena bukan manusia yang memberi eksistensi itu. Kecuali dalam kedaan terpaksa dan dilakukan untuk pembelaan diri.
Karena itulah, maka menurut saya, hukuman mati perlu dihapus, pemerintah harus melakukan perubahan signifikan sehingga Negara ini kemudian menjadi Negara yang menghormati dan melindungi HAM. Ketentuan dalam hukum pidana pelu disesuaikan seturut dengan amanat Konstitusi dan UU HAM.