Mohon tunggu...
Alam Ahmad
Alam Ahmad Mohon Tunggu... Freelancer - Sarjana Humaniora yang berprofesi sebagai pustakawan sekaligus Barista.

Sastra dan perjalanan; Seorang penelisik takdir Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Sang Pecundang Ulung

10 September 2018   23:38 Diperbarui: 11 September 2018   13:45 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kala itu aku masih berada di alam yang berbeda, hanya gelap yang mengintai disekelilingku, mata terkunci rapat, tak mengemban rasa takut sedikitpun. Takdir mulai memerintahkanku untuk memulai menjadi pecundang, tengah hari kuperintah puan, tak perduli puan telah terlelap dengan mimpi indahnya. Ku repotkan puan dengan memerintahkan untuk memberiku makan dengan menu yang nyeleneh, rujak mangga setengah matang di tengah malam yang masih sangat larut dan harus di sajikan malam itu juga. Ku biarkan puan mengeluh, aku mulai belajar menjadi pecundang. 

                                                                        ***

            Aku belum puas mengerjai puan, kali ini aku membuat puan menjerit kesakitan, bulir-bulir air mata puan jatuh tak terbendung lagi, keringat puan bercucuran menyebar kemana-mana. Darah segar menempel di tiap-tiap inci selimut, bau amis darah itu tercium disetiap sudut ruangan. Aku memaksa puan untuk menyebut-nyebut nama Tuhannya. "Allahu Akbar. . ., Ya Allah Ya Tuhanku sakit!!!" jerit puan kesakitan bak merasakan sayatan silet di sekujur tubuhnya. Dengan egois aku mencoba untuk membunuh puan subuh itu.

            Beberapa detik kemudian aku terkejut melihat alam yang sangat berbeda dengan alamku yang sebelumnya. Aku amat sangat ketakutan sehingga aku menangis kencang subuh itu, aku melihat puan masih menangis, tetapi kali ini berbeda, sambil menangis puan tersenyum bahagia. Aku tak perduli, aku tetap menangis kencang karena aku sangat-sangat ketakutan. Tangan suci puan mendekapku erat, menciumiku tak henti-hentinya walaupun seluruh tubuhku masih berbau amis darah segar.

                                                                        ***

            Sang waktu pun berlalu sangat cepat, aku kini sudah bisa sedikit meniru apa yang puan ajarkan. Puan mengajariku berbagai banyak hal, mengajariku mengunyah makanan, memanfaatkan kedua kakiku untuk berjalan, bahkan puan mengajariku untuk berbicara dengan bahasanya, sungguh sangat sulit bagiku untuk mengucapkannya, lidahku memberontak kesakitan karenanya. 

Aku mulai suka dengan makanan yang sangat manis dan membuatku kecanduan, mereka menyebut makanan itu dengan "pelmen", maklum lidahku sakit ketika menyebut huruf 'R'. Entah kenapa sepertinya puan mengutuk makanan surga itu, ketika aku menikmatinya puan selalu memarahiku. "Adek, jangan makan permen terlalu banyak, nanti gigimu sakit!"

            Aku tak perduli dengan ucapan puan, aku tetap teguh pada keegoisanku untuk tetap membela makanan surga itu, tetapi apalah daya, aku kalah fisik dengan puan yang lebih besar dariku. Aku hanya menangis pasrah ketika puan merenggut makanan surga itu dariku dengan mudah. " Bunda jahat!" gumamku sambil menangis tersedu-sedu. Lalu puan meninggalkanku begitu saja tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Bibit-bibit kebencian mulai lahir dalam diriku dan aku juga mulai tumbuh sebagai pecundang.     

                                                                        ***

            Kini aku sudah gagah, tubuhku di tutupi oleh seragam sekolah berwarna putih dan merah yang keren sekali. Orang-orang  bilang aku anak yang cerdas, karena itu aku langsung di masukkan oleh puan ke salah satu SDN (Sekolah Dasar Negeri) di kotaku, tidak melalui TK (Taman Kanak-Kanak) seperti teman-teman sebayaku. Di sekolah aku mempunyai banyak teman, aku sangat senang bila bermain bersama mereka, mereka adalah teman-teman yang baik, selalu mengajakku bermain selepas pulang dari sekolah. Tetapi puan yang jahat selalu mengomeliku ketika teman-temanku mengajakku bermain.

"Adek, sekarang waktunya mengaji, pokoknya tidak boleh bermain titik."

"Tapi bun. ." keluhku kesal.

"sudah ayo mandi, setelah itu adek mengaji bersama bunda"

Dengan entengnya puan mengggangkat tubuhku yang mungil, aku pasrah dan menggikuti kehendak puan.

                                                                        ***

            Petang itu puan menangis khidmat ditemani dengan hujan badai berpetir bak mengutuk puanku didalam gubuk tua diujung desa.  puanku yang manis tak berdosa menggenggam sebuah obat durjana, yah sebuah obat yang sangat ku benci. Dengan keputusan yang sangat berat, puan menenggak obat itu. Sejurus kemudian sebongkah daging berkepala muncul disela-sela kaki puan. Darah bercucuran deras dan membasahi rok hitam puan dan banjir membasahi pipi puan yang manis, puan mengaborsiku.

            Semua cerita sejuk nan manis di atas adalah khayalanku ketika aku tumbuh besar bersama hangatnya kasih sayang  puan untukku, namun sayang, semuanya hanyalah khayalan belaka. Puanku yang masih duduk di bangku perkuliahan semester lima lebih memilih harga dirinya ketimbang aku, seorang pecundang yang haram  untuk terlahir di dunia, merasakan hangatnya dipeluk bahagia ketika lahir, dimarahi ketika memakan permen lebih dari tiga bungkus dan bahkan tertawa lepas bermain petak umpet bersama teman-teman sebayaku.

Aku tak membencimu puan, aku sangat menyayangi dan mencintaimu. Kelak ketika engkau menyusulku di akhirat nanti, aku akan meminta Tuhanku agar aku bisa dipeluk olehmu di surga. Yang aku benci adalah selamanya aku tak akan pernah bisa memanggilmu "BUNDA" ketika di dunia. Aku selalu mendoakanmu di surga puanku yang manis, semoga engkau bahagia di alam dunia sana. Selamat tinggal puan, selamat tinggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun