Mohon tunggu...
Ahada Ramadhana
Ahada Ramadhana Mohon Tunggu... -

Ngewarta di brilio.net, stay di Yogyakarta sejak 2010.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Memahami Kehendak Langit (2- Habis)

26 November 2013   06:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:40 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende


Pernahkah merasa hidup ini tak adil? Pernahkah merasa menjadi manusia yang paling sial? Pernahkah merasa hidup ini sia-sia, hampa? Novel Tere Liye Rembulan Tenggelam di Wajahmu akan mengulas hal-hal tersebut di atas, menetralisir perasaan-perasaan ‘menggugat’ itu.

***

Lima hari sebelum berpulang, Ray ditunjukkan perjalanan mengenang masa lalu. Lima pertanyaan, lima jawaban. Ini adalah dialog antara Pasien berumur enam-puluh tahun (Rehan dewasa) dengan sesosok makhluk dengan wajah menyenangkan.

Pertanyaan pertama: Apakah kami memang tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih saat akan dilahirkan? Ada puluhan tempat penampungan anak-anak terlantar di kota ini, mengapa aku justru harus diantarkan ke panti sialan itu? Mengapa?

Penjelasan diawali dengan nasib sebutir gandum. Tak peduli betapapun hebatnya pelindung-pelindung dari sebutir gandum, jika ditentukan basah maka basahlah ia. Jika ditentukan kering maka keringlah ia. Tidak peduli seberapa hebat pelindungnya.

Kehidupan ini tidak sia-sia. Besar-kecil, semua berarti. Kalau urusan sekecil itu saja sudah ditentukan, bagaimana mungkin urusan manusia yang lebih besar luput dari ketentuan. Bagi manusia, hidup ini juga sebab-akibat. Bedanya, bagi manusia sebab-akibat itu membentuk peta dengan ukuran raksasa. Kehidupanmu menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lain, kehidupan orang lain mengakibatkan perubahan garis kehidupan orang lainnya lagi, kemudian entah pada siklus ke berapa, kembali lagi kegaris kehidupanmu… saling mempengaruhi, saling beinteraksi… Sungguh kalau kulukiskan peta itu maka ia bagai bola raksasa dengan benang jutaan warna yang saling melilit saling menjalin, lingkar-melingkar. Sekecil apapun itu, setiap perbuatan kita memiliki sebab-akibat

Mengapa kau harus menjalani masa kanak-kanak yang seharusnya indah justru di panti menyebalkan tersebut? Mengapa? Karena kau menjadi sebab bagi garis kehidupan Diar. Kau menjadi sebab anak ringkih, lemah, dan polos itu menjemput takdir hidup yang bagai seribu saputan pelangi di langit saat kematiannya tiba. Kau menjadi sebab seribu malaikat takzim mengucap salam ketika menjemput Diar di penghujung umurnya yang sayangnya masih amat muda.

Ray akhirnya tahu mengapa ia ditakdirkan tinggal di panti sialan itu. Uang dari para dermawan yang telah dikumpulkan penjaga panti untuk naik hajinya ternyata digunakan untuk membiayai pengobatan Ray akibat tusukan belati para preman. Penjaga panti akhirnya menemukan jalan ‘kembali’, dan Ray menjadi penyebab penjaga panti menemukan jalan untuk kembali tersebut.

Pertanyaan kedua—yang menurut orang berwajah menyenangkan hampir semua manusia pernah mengeluarkan pertanyaan ini—apakah hidup ini adil?

Hidup ini tidak adil. Kalimat itu menderanya. Kenapa dia harus dilahirkan tanpa Ayah-Ibu. Kenapa dia hanya memiliki sepotong koran untuk menjelaskan masa lalunya. Ray tidak tahu apa maksud semua berita dalam potongan Koran butut ini, tapi dia jelas-jelas tidak pernah meminta untuk menjalani hidup seperti ini, sendirian. Mungkin jadi orang jahat lebih menyenangkan, pikirnya.

Kalau Tuhan benar-benar penyayang kenapa Dia harus menciptakan orang-orang jahat. Orang-orang yang mengambil kebahagiaan orang lain. Natan kehilangan mimpinya. Dia kehilangan orang tuanya. Bukankah sering terlihat orang-orang jahat itulah yang justru dimudahkan dalam segala urusan. Dilapangkan jalannya. Sedangkan orang-orang baik, langit berkali-kali justru tega merenggut secuil janji kebahagiaan di depan mata. Apakah hidup ini adil?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun