Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Memahami Kehendak Langit (2- Habis)

26 November 2013   06:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:40 90 0

Pernahkah merasa hidup ini tak adil? Pernahkah merasa menjadi manusia yang paling sial? Pernahkah merasa hidup ini sia-sia, hampa? Novel Tere Liye Rembulan Tenggelam di Wajahmu akan mengulas hal-hal tersebut di atas, menetralisir perasaan-perasaan ‘menggugat’ itu.



***

Lima hari sebelum berpulang, Ray ditunjukkan perjalanan mengenang masa lalu. Lima pertanyaan, lima jawaban. Ini adalah dialog antara Pasien berumur enam-puluh tahun (Rehan dewasa) dengan sesosok makhluk dengan wajah menyenangkan.

Pertanyaan pertama: Apakah kami memang tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih saat akan dilahirkan? Ada puluhan tempat penampungan anak-anak terlantar di kota ini, mengapa aku justru harus diantarkan ke panti sialan itu? Mengapa?

Penjelasan diawali dengan nasib sebutir gandum. Tak peduli betapapun hebatnya pelindung-pelindung dari sebutir gandum, jika ditentukan basah maka basahlah ia. Jika ditentukan kering maka keringlah ia. Tidak peduli seberapa hebat pelindungnya.

Kehidupan ini tidak sia-sia. Besar-kecil, semua berarti. Kalau urusan sekecil itu saja sudah ditentukan, bagaimana mungkin urusan manusia yang lebih besar luput dari ketentuan. Bagi manusia, hidup ini juga sebab-akibat. Bedanya, bagi manusia sebab-akibat itu membentuk peta dengan ukuran raksasa. Kehidupanmu menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lain, kehidupan orang lain mengakibatkan perubahan garis kehidupan orang lainnya lagi, kemudian entah pada siklus ke berapa, kembali lagi kegaris kehidupanmu… saling mempengaruhi, saling beinteraksi… Sungguh kalau kulukiskan peta itu maka ia bagai bola raksasa dengan benang jutaan warna yang saling melilit saling menjalin, lingkar-melingkar. Sekecil apapun itu, setiap perbuatan kita memiliki sebab-akibat

Mengapa kau harus menjalani masa kanak-kanak yang seharusnya indah justru di panti menyebalkan tersebut? Mengapa? Karena kau menjadi sebab bagi garis kehidupan Diar. Kau menjadi sebab anak ringkih, lemah, dan polos itu menjemput takdir hidup yang bagai seribu saputan pelangi di langit saat kematiannya tiba. Kau menjadi sebab seribu malaikat takzim mengucap salam ketika menjemput Diar di penghujung umurnya yang sayangnya masih amat muda.

Ray akhirnya tahu mengapa ia ditakdirkan tinggal di panti sialan itu. Uang dari para dermawan yang telah dikumpulkan penjaga panti untuk naik hajinya ternyata digunakan untuk membiayai pengobatan Ray akibat tusukan belati para preman. Penjaga panti akhirnya menemukan jalan ‘kembali’, dan Ray menjadi penyebab penjaga panti menemukan jalan untuk kembali tersebut.

Pertanyaan kedua—yang menurut orang berwajah menyenangkan hampir semua manusia pernah mengeluarkan pertanyaan ini—apakah hidup ini adil?

Hidup ini tidak adil. Kalimat itu menderanya. Kenapa dia harus dilahirkan tanpa Ayah-Ibu. Kenapa dia hanya memiliki sepotong koran untuk menjelaskan masa lalunya. Ray tidak tahu apa maksud semua berita dalam potongan Koran butut ini, tapi dia jelas-jelas tidak pernah meminta untuk menjalani hidup seperti ini, sendirian. Mungkin jadi orang jahat lebih menyenangkan, pikirnya.

Kalau Tuhan benar-benar penyayang kenapa Dia harus menciptakan orang-orang jahat. Orang-orang yang mengambil kebahagiaan orang lain. Natan kehilangan mimpinya. Dia kehilangan orang tuanya. Bukankah sering terlihat orang-orang jahat itulah yang justru dimudahkan dalam segala urusan. Dilapangkan jalannya. Sedangkan orang-orang baik, langit berkali-kali justru tega merenggut secuil janji kebahagiaan di depan mata. Apakah hidup ini adil?

Kehidupan baik-baik ini melelahkan. Mungkin lebih mengasyikkan jadi anak jalanan seperti dulu. Lapar? Tinggal memaksa. Butuh uang? Tinggal mencuri. Berjudi. Kenapa tidak? Ray menyeringai, bukankah terakhir kali berjudi dia menang belasan juta? Sebelum akhirnya tiga pisau belati membusai perutnya. Setidaknya kehidupan seperti itu terlihat menyenangkan. Menjanjikan.

Orang dengan wajah menyenangkan dengan sabar menjelaskan pertanyaan kedua ini.Kalau kau tidak boleh menyalahkan orang lain dalam urusan ini, apalagi menyalahkan Tuhan, Ray… Itu tidak boleh terjadi, meski amat lazim dilakukan orang-orang. Terus terang, ini bagian penjelasan paling sulit dari lima pertanyaanmu Ray… bukankah sudah kukatakan, jawaban atas pertanyaan ini berjuta bentuknya, karena keadilan mengambil berjuta bentuk pula. Bahkan orang-orang terpilih sekalipun, terkadang lalai mengenali bentuk-bentuk keadilan itu, karena kita selalu berusaha mengenalinya dari sisi yang kasat mata.

Ah, sayang kita selalu menurutkan perasaan dalam urusan ini. Kita selalu berprasangka buruk. Kita membiarkan hati yang mengambil alih, menduga-duga… Tidak puas menduga-duga, kita membiarkan hati mulai menyalahkan. Megutuk semuanya. Kemudian tega sekali, menjadikan kesalahan orang lain sebagai pembenaran atas tingkah laku keliru kita.

Waktu itu kau sering bertanya mengapa Tuhan memudahkan jalan bagi orang-orang jahat?  Mengapa Tuhan justru mengambil kebahagiaan dari orang-orang baik? Itulah bentuk keadilan langit yang tidak akan pernah kita pahami secara sempurna. Beribu wajahnya. Berjuta bentuknya. Hanya satu cara untuk berkenalan dengan bentuk-bentuk itu. Selalulah berprasangka baik. Aku tahu kata-kata ini tetap saja sulit dimengerti. Aku sederhanakan bagimu, Ray, maksudnya adalah selalulah berharap sedikit. Ya, berharap sedikit, memberi banyak. Maka kau akan siap menerima segala bentuk keadilan tuhan.

Tahukah kau, orang-orang yang suka menyalahkan orang lain atas kejadian buruk yang menimpanya cenderung sepertimu. Membalas. Ketika kau tidak mampu membalasnya ke orang yang menjadi penyebabnya, tidak bisa membalasnya ke Tuhan, maka kau membalasnya dalam bentuk lain. Apa salahnya menjadi jahat. Menjadi pembenaran. Orang-orang miskin membalas nasib buruknya dengan berjudi. Penjaga panti membalas kegagalannya naik haji karena pengkhianatan temannya dengan membenarkan mengambil uang panti. Mereka membalasnya menjadi alas an atas kelakuan buruk mereka. padahal, berbagai kejadian menyakitkan itu sesuatu yang tidak tercegahkan.

Pertanyaan ketiga, perihal kehilangan. Kenapa langit tega sekali mengambil istri yang amat dicintainya. Kenapa takdir menyakitkan itu harus terjadi?

Hampir semua orang pernah kehilangan sesuatu miliknya, amat berharga malah. Dan semua kehilangan itu menyakitkan. Cara terbaik untuk memahaminya adalah melihat dari sisi yang berbeda: dari sisi yang pergi, bukan dari sisi yang ditinggalkan. Dalam kasus ini kita bisa melihat dari sisi istri Ray. Sejak pernikahan, istri Ray sering berkata, ‘Bagiku kau ikhlas dengan semua yang kulakukan untukmu, ridha atas perlakuanku padamu. Itu sudah cukup’. Ini amat sederhana.

Istri Ray benar-benar ingin menjadi istri yang baik untuk Ray, menjadi ibu yang baik untuk anak-anakya. Ia tidak pandai ilmu agama, ia baru belajar itu semua saat mereka menikah. Tapi dia paham sebuah kalimat yang indah, nasihat pernikahan yang disampaikan penghulu: Istri yang ketika meninggal dan suaminya ridha padanya, maka pintu-pintu surga dibukakan lebar-lebar baginya. Hanya itu yang ia pahami, tapi ia sungguh-sungguh melaksanakannya. Ia ingin Ray ikhlas atas semua yang ia lakukan, ia ingin Ray menerimanya apa adanya. Melayani Ray sepenuh hati, menunggu Ray pulang dengan riang, memaksakan diri tetap terjaga saat Ray tiba, memanaskan masakan makan malam, melepaskan dasi, menyiapkan air hangat. Ia ingin Ray ridha atas semua perlakuannya.

Apa kalimat terakhir istri Ray, “Kau tahu…. Aku ingin selalu terlihat cantik di matamu…. Aku ingin selalu terlihat cantik”. Istri Ray bertanya di penghujung hidupnya, ‘Apakah kau ridha?’ Dan Ray mengangguk. Maka malam itu seribu malaikat bertasbih mengungkung kota. Istri Ray menjemput penghujung yang baik. Inilah jawaban mengapa istrinya harus pergi. Kita bisa melihat hal ini dari sisi yang pergi, bukan dari yang ditinggalkan.

Pertanyaan keempat, mengapa setelah sejauh ini semuanya tetap terasa kosonng, hampa? Ray sering berpikir dengan semua kesibukannya, dengan semua kekuasaan yang dimilikinya, bisa mendapat kesenangan dari perginya si Gigi Kelinci. Ray ingin menjawab semua perasaan kosong setelah kepergian istrinya.

Ray pikir dengan menambah lagi bisnisnya, membuatnya besar-menggurita dia akan menemukan kepuasan. Sayang, Ray tetap merasa kosong, hampa. Ray mirip seperti anak kecil yang sudah memiliki mainan, saat melihat anak lain mendapat mainan baru, ia juga menginginkannya. Kesalahan Ray adalah sikap keterlaluannya mencintai dunia. Sungguh berbeda orang yang berlebihan mencintai dunia dengan orang yang bijak menyikapi dunia. Orang yang merasa hidupnya kurang maka ia tak akan pernah puas. Tapi orang bijak, orang yang berhasil menghaluskan hatinya membuat hatinya bagai cermin, bisa merasakan kebahagiaan melebihi orang terkaya sekalipun.

Pertanyaan kelima, kenapa ia ditakdirkan harus mengalami sakit berkepanjangan. Kenapa takdir sakit itu mengungkung?

Orang dengan wajah menyenangkan itu memberi penjelasan yang menyadarkan. Ah, apalah yang disebut dengan kejadian menyakitkan itu? Kau kehilangan istrimu itu menyakitkan? Kau tinggal di panti? Kau sakit-sakitan? Lantas apalah yang disebut dengan menyenangkan itu? Kau memiliki segalanya, mempunyai banyak? Kau menghabiskan waktu indah enam tahun bersama istrimuitu menyenangkan? Ray, Semua itu hanya perbandingan. Otak manusia sejak lama terlatih menyimpan banyak perbandingan versi mereka sendiri, menerjemahkan nilai seratus itu bagus, nilai limapuluh itu jelek. Wajah seperti ini cantik, wajah seperti itu jelek. Hidup seperti ini kaya, hidup seperti itu miskin. Otak manusia yang keterlaluan pintarnya mengumpulkan semua kejadian-kejadian itu dalam sebuah buku besar, yang disebut buku perbandingan.

Novel ini memberi pelajaran tentang kehidupan. Memberi kesan langsung ke dalam hati. Dari membaca novel ini, kita akan memahami bahwa keadilan Tuhan bermacam bentuknya. Menjalani hidup dengan penerimaan, karena segala takdir Tuhan adalah bentuk keadilan. Happy reading!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun