Mohon tunggu...
Ahada Ramadhana
Ahada Ramadhana Mohon Tunggu... -

Ngewarta di brilio.net, stay di Yogyakarta sejak 2010.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Memahami Kehendak Langit

26 November 2013   05:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:40 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Kau sembunyikan di mana semua bungkusan? Ayo jawab… Jawab anak bangsat!!”

Rehan menunduk. Mendesiskan kebencian. B-a-n-g-s-a-t? Siapa yang sebenarnya bangsat? Penjaga panti sok-suci inilah yang bangsat. Tangan Rehan mencengkeram saku celana. Menggigit bibir. Bersiap menerima pukulan.

Bilah rotan itu tanpa ampun meluncur ke pantat. Satu kali. Sakit sekali. Apalagi celananya lusuh dan tipis pula. Mana bisa menahan pecutan pedas di kulit. Muka Rehan memerah menahan rasa nyeri. Dia tidak akan berteriak. Teriakannya berarti kesenangan bagi penjaga panti. Simbol kemenangan penjaga panti. Rehan mencengkeram celananya lebih kencang.

***

Pernahkah merasa hidup ini tak adil? Pernahkah merasa menjadi manusia yang paling sial? Pernahkah merasa hidup ini sia-sia, hampa? Novel Tere Liye Rembulan Tenggelam di Wajahmu akan mengulas hal-hal tersebut di atas, menetralisir perasaan-perasaan ‘menggugat’ itu.

Novel ini bercerita tentang seorang anak bernama Rehan Raujana (Ray) yang merasa hidupnya begitu sial. Kehidupan masa kecilnya dihabiskan di panti asuhan, dibersamai penjaga panti yang begitu menyebalkan, hari-hari Ray amat akrab dengan pecut bilah rotan. Kehidupan di panti mendidiknya menjadi liar: suka mencuri, berjudi, berkelahi, pembangkang. Konon ketidaksukaan Ray pada penjaga panti ialah karena penjaga panti itu berlagak sok suci, ke mana-mana memegang tasbih, sering mengatai Ray ’anak bangsat’ padahal Ray tahu bahwa penjaga panti itu telah menggelapkan sumbangan dari para dermawan untuk ambisi pribadi yang berlebihan dan telah salah orientasi: naik haji.

Beranjak remaja Ray semakin menjadi, membawa lari uang dari panti untuk berjudi. Kabur dari panti menemukan kehidupan yang ia rasa ‘bebas’. Hidup di terminal, menjadi preman, pencopet, penjudi.Langitpun seolah mendukung, Ray hampir selalu memenangkan perjudian jika saja bandar judi tidak berbuat curang. Masa-masa Ray menjadi penjudi ulung tak lama, pasca kemenangannya yang kesekian kali ia ditusuk belati oleh preman yang menginginkan uang hasil judinya. Dari mana Ray mendapatkan modal untuk berjudi? Tentu saja dari mencuri. Mencuri uang panti, juga mencopet ketika di terminal.

Pasca dirawat di rumah sakit akibat kejadian penusukan itu, Ray dibawa ke Rumah Singgah, sebuah rumah yang memang disediakan untuk anak-anak jalanan. Di sini Ray merasa cukup bahagia, masa-masa menyakitan itu terlewati. Tidak ada paksaan, perintah atau larangan, apalagi pecut bilah rotan di sini. Bang Ape, pengasuh panti memberi kebebasan bagi anak-anaknya, mau bersekolah, mengamen, menjadi karyawan ruko, atau apalah, yang penting punya aktivitas positif. Yang sering Bang Ape tekankan adalah soal masa depan. Sembilan orang di Rumah Singgah menjadi keluarga baru Ray.

Ray menelan ludah. Mendadak hatinya mengembun. Lihatlah, benar-benar keluarga yang menyenangkan. Hanya untuk urusan kelulusan sekolahnya, mereka merayakannya. Ray menyeka sudut matanya yang mulai basah. Semua ini, semua ini menyentuh hatinya. Ray gemetar menerima uluran tangan. Menerima ucapan selamat. Menyimak muka-muka riang itu.

Pasca berkelahi dengan para preman di ujung gang dan di bis kota, ia memutuskan pergi dari Rumah Singgah dan menyewa sepetak kamar sempit dekat bantaran kali. Ray memutuskan menghajar para preman itu dengan alasan membela diri dan orang-orang Rumah Singgah yang telah ia anggap lebih dari keluarga. Ia pergi lebih karena bosan mendengar ceramah Bang Ape tentang mereka yang berbeda dengan anak jalanan, Rumah Singgah tak pernah mengajarkan berkelahi. Selain juga karena merasa tak enak sendiri dengan Bang Ape yang selama tiga tahun tinggal di Rumah Singgah sudah bersikap baik padanya. Hari-hari Ray kini diawali dan diakhiri dengan mengamen. Bangun siang, pulang larut malam, langsung istirahat karena lelah. Hidupnya sama dari hari ke hari, datar. Hingga ia bertemu Plee, pria yang menghuni rumah terbesar di bantaran kali dekat tempat tinggal Ray. Plee adalah pedagang berlian, ia hanya menjual, tidak pernah membeli. Mendapatkan barang dagangannya dari mencuri. Plee mengantarkan Ray menjadi pencuri kelas kakap, Ray diajak dalam proyek besar Plee: mencuri berlian seharga belasan miliar rupiah di lantai 40 salah satu gedung tinggi ibukota. Namun meskipun rencana pencurian yang hebat itu telah disusun dengan matangnya, hasilnya tidak sempurna, mereka mendapatkan berlian itu namun tertangkap petugas. Petugas berhasil mengejar mereka yang kembali ke rumah Plee. Atas dasar ‘kebaikan hati’, Plee mengaku kepada petugas bahwa melakukan ini sendiri. Plee menyembunyikan Ray di kamar rahasia rumah kontrakannya. Plee menanggung hukuman mati enam tahun kemudian karena kasus pencurian ini, sementara Ray selamat oleh kebaikan Plee.

Pasca pencurian itu Ray pergi dari ibukota, memutuskan kembali ke kota lamanya. Bekerja di konstruksi, karirnya cepat menanjak karena pada dasarnya ia anak yang cerdas. Berawal menjadi pekerja bangunan, mandor junior, wakil kepala mandor, hingga menjadi kepala mandorfa. Di kota lamanya ini Ray menemukan gadisnya, Fitri. Ray rajin menemui gadis itu di bangsal anak-anak di rumah sakit, berkunjung setiap malam Rabu dan malam Sabtu ke rumah gadis itu menemaninya membuat puding pisang, mengajak gadis itu naik ke lantai 18 konstruksi gedung untuk menyaksikan pesta kembang api pada peringatan hari jadi ke-500 kotanya. Menemukan kenyataan pahit bahwa ternyata gadisnya itu merupakan wanita simpanan para pejabat. Setelah mendengar penjelasan masa lalu gadisnya, akhirnya Ray bisa memahami, ternyata nasib mereka tak jauh beda: punya masa lalu yang kelam. Mereka akhirnya menikah. Hidup bersama istrinya selama enam tahun mengobati kesendiriannya, amat bahagia. Mereka punya cita-cita, memiliki anak-anak yang baik, yang hidupnya lebih beruntung dari mereka. namun sayang, langit punya rencana lain. Dua kali mengandung, dua kali bayinya tidak selamat. Dan istrinya pun pergi menyusul dua bayinya, persis setelah Ray memberi jawaban atas pertanyaan istrinya: apakah Ray ridha terhadap perlakuan istrinya selama ini?.

Satu hal yang paling ia hindari ialah melewati jalanan depan panti tempat tinggalnya dulu. Melewati panti itu baginya suatu hal yang amat hina, seringkali Ray hampir melewati jalanan depan panti namun buru-buru ia hentikan mobilnya, putar haluan. Tak peduli cacian dari pengguna jalan akibat ia berhenti mendadak.

Ray punya kebiasaan yang sudah sejak lama ia lakukan: menatap rembulan. Halaman panti, atap Rumah Singgah, tower air bantaran kali, lantai tertinggi konstruksi gedung yang sedang dibangunnya, atau juga menatap rembulan dari pantai menghabiskan malam berjalan bersisian bersama istrinya. Baginya amat menenteramkan menatap rembulan.

Pasca kepergian istrinya, Ray memutuskan ke ibukota. Menjual rumah serta empat toko pudding pisang milik istrinya. Ray ingin sempurna melupakan kenangan menyesakkan itu. Ia harus menyibukkan diri demi melupakan kenangan itu. Ray menuju rumah petaknya dahulu, naik ke tower air bantaran kali tempat ia dulu biasa menatap rembulan, mengambil berlian yang dulu diperoleh dari mencuri di lantai 40 salah satu gedung ibukota, ternyata Plee menyimpannya di tower air itu. Dari sini ia memulai imperium bisnisnya, pembangunan apartemen. Di sini Ray mengambil pekerja dari kota lamanya, Jo untuk dipekerjakan sebagai kepala mandor. Kesedihan ini harus dilalui dengan banyak aktivitas. Kenangan itu sudah terkubur bersama wajah cantik istrinya. Ada banyak mimpi yang bisa Ray wujudkan untuk istrinya.

Ray benar-benar membatukan diri dalam pekerjaan. Proyek apartemennya selesai enam bulan lebih cepat. Ray haus kesibukan. Dua tahun terakhir Ray sudah membangun Pusat Perbelanjaan tujuh lantai, dua gedung perkantoran belasan lantai dan satu pemukiman elit. Sembilan proyek dalam lima tahun. Usianya kini 37 tahun.

Satu lagi mimpinya yang ingin diwujudkannya sebagai hadiah untuk istrinya: gedung tertinggi di ibukota. Lima tahun proyek itu selesai, peresmiannya dihadiri presiden dan pejabat Negara. Usianya kini 42 tahun. Sukses dengan ini, Ray berinvestasi di ladang minyak. Ada yang sedikit berbeda di kehidupannya kini. Ray sedikit merasa lebih nyaman dengan perhatian yang diberikan Vin, cucu Koh Cheu kenalannya di kota lamanya dulu. Vin rajin mengirimkan pudding pisang yang tak kalah enaknya dengan pudding pisang buatan istri Ray. Vin memang menaruh hati pada Ray, usia Vin 20an tahun. Dua minggu sekali gadis itu rajin mengirimkannya, tak hanya pudding tapi juga surat-surat. Banyak hal yang Vin ceritakan lewat surat itu. Dan Ray merasa nyaman dengan perhatian itu. Terlebih lagi Vin memutuskan tinggal di Jakarta, ia ingin belajar dari Ray. Enam bulan, kebersamaan mereka semakin sering. Vin tetap menyembunyikan perasaan itu meskipun semua orang tahu urusan ini. Ray pun merasa nyaman dengan kebersamaan ini, ia merasa tidak lagi sendiri. Namun Anggrek ini mekar di tempat dan waktu yang salah. Ray kukuh dengan prinsipnya: hidup hanya sekalai jadi jatuh cinta pun hanya sekali.

Kabar buruk hadir, ladang minyak yang Ray ikut berinvestasi di dalamnya ternyata nol besar. Eksplorasi yang menyatakan ladang minyak itu memiliki miliaran barel minyak mentah adalah tipuan. Ray kalah telak dalam pertaruhan ini. Dua pertiga kekayaan yang ia investasikan lenyap.

Koh Cheu—kakek Vin—dengan ringan hati menjual seluruh kekayaannya untuk menyelamatkan Ray. Terasa amat bodoh memang, namun keputusan koh Cheu ini merupakan bentuk pembayaran atas rasa bersalahnya karena dulu pernah melancarkan cara busuk untuk bisnisnya, dan Ray adalah salah satu korbannya. Empat tahun berlalu, semua bisnis Ray yang telah distrategi ulang masih belum mampu melunasi hutang-hutangnya.  Kabar buruk berikutnya datang, Koh Cheu meninggal. Enam bulan kemudian, kabar baik datang: ladang minyak yang yang dikabarkan omong kosong dahulu ternyata berisi jutaan ton emas. Keberuntungan Ray kembali, hingga usianya menginjak 50 tahun bisnisnya makin menggurita. Usia 52 tahun, kabar buruk datang lagi: istri Koh Cheu meninggal. Usia 54 tahun lebih buruk lagi, Vin pun pergi. Tak ada siapa-siapa lagi dalam hidup Ray. Di enam tahun penghabisan hidupnya Ray lebih banyak sakit-sakitan. Lima hari sebelum berpulang, Ray ditunjukkan perjalanan mengenang masa lalu. Ia punya waktu lima hari untuk memperbaiki segalanya.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun