Pegadaian mengEMASkan Indonesia. Ungkapan ini bukan sekadar slogan korporasi, tetapi cerminan perubahan paradigma dalam cara lembaga keuangan milik negara ini memberdayakan masyarakat desa. Melalui gagasan Gadai Hijau, Pegadaian menanamkan nilai bahwa emas bukan hanya logam berharga, melainkan simbol keberlanjutan, kemandirian, dan kepercayaan. Di tangan masyarakat desa, emas menjadi alat transformasi, dari perilaku konsumtif menuju produktif, dari pengelolaan sampah menuju ekonomi sirkular yang berdaya.
Dalam beberapa tahun terakhir, geliat ekonomi desa Indonesia bergerak menuju arah baru. Desa tidak lagi sekadar bergantung pada pertanian tradisional, tetapi mulai mengembangkan sistem ekonomi sirkular, pola yang menekankan pemanfaatan ulang sumber daya, pengolahan limbah, dan penciptaan nilai dari sisa produksi. Namun, transisi ini sering tersendat oleh masalah klasik: keterbatasan modal dan literasi keuangan. Di sinilah Pegadaian hadir bukan sebagai lembaga gadai konvensional, melainkan sebagai mitra strategis yang menghubungkan nilai sosial dan nilai ekonomi.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2024, hanya 31 persen pelaku UMKM desa yang memiliki akses pembiayaan formal. Sisanya masih mengandalkan pinjaman pribadi atau rentenir. Melalui pendekatan inklusif, Pegadaian mengEMASkan Indonesia dengan membuka akses permodalan mikro yang cepat, aman, dan sesuai kebutuhan masyarakat desa. Hingga 2025, Pegadaian memiliki lebih dari 4.200 outlet aktif di seluruh Indonesia, dan sekitar 60 persen nasabahnya berasal dari luar kota besar, bukti nyata bahwa layanan Pegadaian sudah merata sampai ke akar ekonomi rakyat.
Modal Sosial: Pondasi Hijau dari Desa
Untuk memahami mengapa “Gadai Hijau” relevan bagi ekonomi desa, kita perlu meninjau Teori Modal Sosial (Social Capital) yang dikemukakan oleh Robert D. Putnam (1993). Putnam menjelaskan bahwa modal sosial adalah jaringan kepercayaan, norma, dan hubungan sosial yang memfasilitasi kerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Dalam konteks desa, modal sosial menjadi fondasi penting yang menopang aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat. Nilai gotong royong, solidaritas, serta rasa saling percaya membuat masyarakat desa memiliki kekuatan kolektif untuk membangun usaha bersama, berbagi risiko, dan menjaga keberlanjutan. “Gadai Hijau” dapat memanfaatkan kekuatan ini sebagai basis pembiayaan mikro yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga pada pemberdayaan komunitas dan keberlanjutan lingkungan.
Desa di Indonesia memiliki jejaring sosial yang kuat dan budaya kolaborasi yang tinggi. Nilai-nilai ini sejalan dengan semangat Pegadaian mengEMASkan Indonesia, membangun ekonomi bukan dari modal besar, melainkan dari kepercayaan dan kerja bersama. Pegadaian memanfaatkan kekuatan sosial ini untuk mendorong model pembiayaan mikro berbasis komunitas. Melalui Gadai Hijau, Pegadaian menjadikan kelompok tani, koperasi, atau bank sampah sebagai mitra pembiayaan produktif. Dengan jaminan sosial berbasis kelompok, masyarakat desa bisa mengakses modal tanpa agunan formal yang rumit.
Hasilnya terlihat nyata. Program Gadai Peduli Lingkungan yang dijalankan Pegadaian sejak 2023 berhasil menjalin kerja sama dengan lebih dari 120 bank sampah dan komunitas lingkungan di 15 provinsi. Masyarakat kini bisa menukar sampah plastik, kertas, atau logam menjadi saldo tabungan emas. Inilah wujud paling konkret dari bagaimana Pegadaian mengEMASkan Indonesia, menukar limbah menjadi nilai, dan menjadikan kesadaran lingkungan sebagai investasi sosial.
Lebih jauh, pendekatan ini memperlihatkan pertautan erat antara ekonomi dan budaya desa. Menurut studi Kementerian Desa PDTT (2024), desa yang memiliki koperasi aktif mengalami peningkatan pendapatan rata-rata 18 persen lebih tinggi dibandingkan desa yang tidak. Modal sosial dan kebersamaan menjadi faktor kunci. Gadai Hijau tidak hanya mengalirkan dana, tetapi juga memperkuat jaringan sosial ekonomi yang telah hidup lama. Dengan kepercayaan sebagai dasar, masyarakat berani memulai usaha hijau, berbagi risiko, dan memutar ekonomi dari bawah.