Mohon tunggu...
aktif70
aktif70 Mohon Tunggu... Ketua umum Indonesia Contra Terror (ICT)

Olah raga dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary

Refleksi ke VIII : Perjalanan Menuju Nusa Kambangan

22 September 2025   06:01 Diperbarui: 22 September 2025   06:22 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Duduk, Ustadz Sapta," suara perwira itu terdengar datar. Aku duduk. Di sampingku sudah ada Akhiy Zaki. Tak lama kemudian, Ustadz Abrori masuk bersama Subhan dan Ade Miroz.

"Kalian dipindah," kata perwira itu singkat.

Aku dan kawan-kawan saling berpandangan. Tidak ada kata yang keluar, tapi mata kami berbicara. Ada bahasa yang sama, tapi tak terucap: apa yang harus kita lakukan?

Aku mengenal tajamnya mata mereka, seperti aku mengenal diriku sendiri. Diam... atau mati. Itu saja pilihan yang ada.

Tangan kami diborgol. Kami digiring keluar menuju mobil tahanan. Di dalam, sudah ada Fredy  Budiman, seorang bandar narkoba besar. Ia diam, kami pun diam.

Aku tak perlu lagi bertanya-tanya. Semua sudah jelas. Malam itu, arah perjalanan kami menuju satu titik: Nusa Kambangan.

Dua belas jam lebih perjalanan kami menuju Nusa Kambangan. Mobil tahanan berguncang melewati jalan panjang, lalu akhirnya menaiki perahu penyeberangan. Dari balik jeruji kecil, aku hanya bisa menatap pulau di seberang. Hanya rimbunan pohon besar yang tampak, seolah menelan seluruh cahaya kehidupan. Tidak ada gedung, tidak ada tanda-tanda manusia --- hanya bayangan gelap yang kian mendekat.

Begitu roda mobil turun dari perahu, suara besi berderit dari gladak bercampur dengan deru mesin. Jalan aspal terbentang, membawa kami semakin dalam ke jantung pulau penjara. Satu demi satu kawan-kawan diturunkan.

Di Lapas Batu, ustadz Abrori dan Subhan dilepaskan dari mobil. Kami berpelukan erat, menahan isak yang tak boleh keluar. "Isbir, ustadz ..." bisikku lirih, dan Subhan sebenarnya tak masuk dalam daftar, tapi ia memaksa ikut demi menemani sang ustadz. Pengorbanan itu menoreh luka sekaligus hormat dalam dadaku.

Di Lapas Narkoba, Ade Miroz turun. Kami kembali berpelukan. Perpisahan fisik terasa nyata, namun ruh kami tetap terikat --- lebih kokoh dari rantai besi manapun.

Di Lapas Permisan, akhiy Zaki dilepaskan. Pelukan kali ini terasa berbeda. Lebih erat. Lebih lama. Ada getar jiwa yang berkata: mungkin inilah pelukan terakhir. Dadaku sesak, namun mataku justru menyala. Letih menguap, instingku hidup. Semua panca indra bekerja; aku menyiapkan jiwa untuk memasuki babak baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun