Mohon tunggu...
aktif70
aktif70 Mohon Tunggu... Ketua umum Indonesia Contra Terror (ICT)

Olah raga dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary

Refleksi ke VIII : Perjalanan Menuju Nusa Kambangan

22 September 2025   06:01 Diperbarui: 22 September 2025   06:22 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedetik aku melirik kawanku yang masih sibuk dengan gadget di tangannya, ia karyawan jaringan internet di Malang Jawa timur, dimana aku berada sekarang, sementara suara lagu Iwan Fals terus terdengar dari speaker aktif  yang kami nyalakan.

Aku memalingkan pandangan, ikan koi di dalam kolam sebelah kanan ku berputar-putar seperti tidak takut terusik, tenang mereka damai berenang tidak seperti orang-orang  di negaraku- Aku hirup kembali kopi pahit ku, menikmati kopi Surabaya, lalu jemariku kembali merangkai hurup satu demi satu untuk mendapatkan kalimat-kalimat yang mewakili setiap lembaran hidupku. 

Lembaran  itu kini seperti sebuah lukisan yang ada di hadapanku, seakan semua orang bisa melihatnya tapi tidak semua memahami makna lukisan itu.

Aku memulai kembali :

"Assalamualaikum, Ustadz."

"Waalaikumsalam... iya, masuk."

Seorang sipir senior muncul. Wajahnya serius. "Ustadz, ada yang mau ketemu di ruang Kalapas."

Aku bangkit, keluar bersamanya. dalam hati aku bergumam, siapa malam-malam ingin bertemu denganku? Ini tidak biasa.

Langkahku terhenti sejenak di halaman kantor Kalapas. Beberapa anggota Densus 88 berdiri berjajar, lengkap dengan senjata laras panjang, posisi siap, tatapan tajam. Jarak mereka terukur, tatapan mereka tajam, tidak ada mata yang berkedip, sekilas aku melihat jari telunjuk mereka dalam posisi siap di samping steger senapan mereka- sepertinya angin berbisik di telingaku "hati-hati".

Aku dan sipir melewati mereka, masuk ke ruang Kalapas. Di dalam, suasana tak kalah tegang. Kalapas duduk di sudut ruangan. Seorang perwira yang aku kenal berdiri, bersama tiga anggota Densus dengan senjata siap di gunakan dan Laras pendek tampak di pinggang mereka- lengkap.

"Duduk, Ustadz Sapta," suara perwira itu terdengar datar. Aku duduk. Di sampingku sudah ada Akhiy Zaki. Tak lama kemudian, Ustadz Abrori masuk bersama Subhan dan Ade Miroz.

"Kalian dipindah," kata perwira itu singkat.

Aku dan kawan-kawan saling berpandangan. Tidak ada kata yang keluar, tapi mata kami berbicara. Ada bahasa yang sama, tapi tak terucap: apa yang harus kita lakukan?

Aku mengenal tajamnya mata mereka, seperti aku mengenal diriku sendiri. Diam... atau mati. Itu saja pilihan yang ada.

Tangan kami diborgol. Kami digiring keluar menuju mobil tahanan. Di dalam, sudah ada Fredy  Budiman, seorang bandar narkoba besar. Ia diam, kami pun diam.

Aku tak perlu lagi bertanya-tanya. Semua sudah jelas. Malam itu, arah perjalanan kami menuju satu titik: Nusa Kambangan.

Dua belas jam lebih perjalanan kami menuju Nusa Kambangan. Mobil tahanan berguncang melewati jalan panjang, lalu akhirnya menaiki perahu penyeberangan. Dari balik jeruji kecil, aku hanya bisa menatap pulau di seberang. Hanya rimbunan pohon besar yang tampak, seolah menelan seluruh cahaya kehidupan. Tidak ada gedung, tidak ada tanda-tanda manusia --- hanya bayangan gelap yang kian mendekat.

Begitu roda mobil turun dari perahu, suara besi berderit dari gladak bercampur dengan deru mesin. Jalan aspal terbentang, membawa kami semakin dalam ke jantung pulau penjara. Satu demi satu kawan-kawan diturunkan.

Di Lapas Batu, ustadz Abrori dan Subhan dilepaskan dari mobil. Kami berpelukan erat, menahan isak yang tak boleh keluar. "Isbir, ustadz ..." bisikku lirih, dan Subhan sebenarnya tak masuk dalam daftar, tapi ia memaksa ikut demi menemani sang ustadz. Pengorbanan itu menoreh luka sekaligus hormat dalam dadaku.

Di Lapas Narkoba, Ade Miroz turun. Kami kembali berpelukan. Perpisahan fisik terasa nyata, namun ruh kami tetap terikat --- lebih kokoh dari rantai besi manapun.

Di Lapas Permisan, akhiy Zaki dilepaskan. Pelukan kali ini terasa berbeda. Lebih erat. Lebih lama. Ada getar jiwa yang berkata: mungkin inilah pelukan terakhir. Dadaku sesak, namun mataku justru menyala. Letih menguap, instingku hidup. Semua panca indra bekerja; aku menyiapkan jiwa untuk memasuki babak baru.

Kini aku yang terakhir. Mobil terus melaju hingga berhenti. Mataku langsung menangkap tulisan besar:

Dok ICT 
Dok ICT 

"Lapas Pasir Putih -- Maximum Security."

Tempat ini paling ujung. Inilah titik tujuan.

Aku dibawa ke sebuah ruangan. Wawancara singkat dilakukan --- mereka menekankan larangan bergaul dengan napiter tertentu. Aku hanya mengangguk, tanpa sepatah kata pun keluar. Namun di balik diamku, Aku  menyimpulkan  keadaan di lapas ini - ada sesuatu yang tidak boleh terjadi, "tenang" jiwa ku berbisik.

Proses serah terima berlangsung. Petugas Densus 88 pergi meninggalkan aku. Tas diperiksa, badan digeledah. Para sipir bergantian menghardik, mencoba menjatuhkan mental ku, Aku menatap mereka, tenang, hal ini telah menjadi sesuatu yang biasa bagi ku, empat penjara sebelumnya telah mengajari aku tentang ini, aku memandang semua penjara sama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun