Redaksi Analisis ICT
Indonesia saat ini tengah diguncang gelombang demonstrasi besar-besaran di Jakarta, Makassar, Jogja, Sleman, hingga Medan dengan satu tuntutan yang nyaring: "Bubarkan DPR."
Di permukaan, aksi ini lahir dari kemarahan rakyat akibat ketidakadilan ekonomi: kenaikan tunjangan DPR di tengah kesulitan rakyat, ditambah simbol-simbol pelecehan publik seperti joget wakil rakyat yang viral. Faktor ini menjadi pemicu alami ledakan emosi massa.
Namun, jika dicermati lebih dalam, demo ini tidak steril dari kepentingan elit. Ada aroma rekayasa politik, di mana elite lama memanfaatkan energi rakyat yang marah untuk menggoyang pemerintahan. Energi massa ini "dipatik", dijadikan bahan bakar untuk melemahkan konsolidasi kekuasaan Presiden Prabowo.
Rakyat, Elit Lama, dan Pertarungan Konstitusional
Rakyat kecil: marah karena kebutuhan hidup dan keadilan sosial yang terabaikan.
Elite lama: melihat momentum ini untuk menghambat agenda Prabowo yang dinilai kontradiktif dengan kepentingan mereka. Mereka mendorong framing bahwa DPR dan pemerintah adalah sumber kebobrokan, sehingga citra Presiden ikut terciprat.
Prabowo: sedang berusaha membangun konsolidasi melalui jalur konstitusi---dengan memperkuat peran TNI-Polri, membangun ketahanan pangan, dan menguatkan legitimasi negara.
Pertarungan sesungguhnya bukan di jalanan, melainkan di arena konstitusional. Demo hanyalah instrumen untuk menciptakan kesan bahwa sistem gagal, sehingga lahir narasi "krisis konstitusi."
Konsolidasi Kekuasaan: Jalan Prabowo
Presiden Prabowo jelas menunjukkan karakternya: ia lebih memilih konsolidasi militer dan Polri sebagai pilar utama stabilitas negara. Pidatonya, "Negara kuat karena TNI-Polri kuat," adalah sinyal jelas bahwa jalur "hard power" akan diutamakan sebelum kompromi politik dilakukan.