Akhir-akhir ini, saya merasa seperti menonton potongan sejarah berjalan mundur. Ada banyak hal yang mengusik, tapi pelan-pelan, seperti asap yang masuk ke rumah lewat celah kecil. Revisi Undang-Undang TNI yang membolehkan perwira aktif menduduki jabatan sipil, bersamaan dengan teror yang diterima jurnalis investigatif, bukan sekadar dua berita biasa. Ini pertanda serius: demokrasi kita sedang digeser perlahan-lahan.
Apakah kita sadar? Atau sudah terlalu lelah?
Saya tumbuh dengan cerita tentang reformasi 1998, tentang rakyat yang turun ke jalan, tentang dwifungsi ABRI yang dihapus, dan tentang mimpi Indonesia yang lebih adil. Tapi kini, melalui revisi UU TNI yang baru saja disahkan DPR, mimpi itu seakan dihapus pelan-pelan.
Dalam revisi itu, perwira TNI aktif bisa menempati jabatan sipil strategis. Padahal dulu, kita sepakat bahwa militer sebaiknya menjaga pertahanan, bukan mengatur kebijakan publik. Bukannya anti-TNI, tapi kita tahu: kekuasaan yang tak dibatasi bisa menjadi masalah, siapa pun yang memegangnya.
Saya tak sendiri dalam kegelisahan ini. Banyak akademisi, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil yang menilai revisi ini berbahaya. KontraS bahkan menyebutnya sebagai pintu masuk militerisme gaya baru. Seperti luka lama yang dibuka kembali.
Tak lama setelah kabar revisi UU TNI, saya membaca berita tentang seorang jurnalis Tempo yang dikirimi paket berisi kepala hewan dan surat ancaman. Ia sedang menyelidiki proyek negara yang melibatkan aktor kuat. Teror itu tidak hanya menyerang dia sebagai individu, tapi juga menyerang kita semua sebagai warga yang punya hak tahu.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, sepanjang 2024, ada lebih dari 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Angka ini mungkin hanya puncak gunung es karena tak semua korban berani bicara. Ketika kerja-kerja jurnalistik dilumpuhkan oleh ketakutan, maka kita kehilangan salah satu alat utama untuk mengontrol kekuasaan.
Beberapa waktu lalu, sekelompok mahasiswa ditangkap saat hendak menggelar diskusi terbuka menolak revisi UU TNI. Padahal, itu diskusi terbuka bukan makar, bukan kekerasan. Tapi dibungkam. Dilarang. Digiring ke kantor polisi. Negara seperti alergi pada suara-suara yang berbeda.
Kalau diskusi publik saja dianggap ancaman, di mana ruang bagi warga sipil untuk menyampaikan pendapat?
Saya tidak sedang meramalkan kiamat. Tapi demokrasi memang tidak hilang dalam satu malam. Ia mati perlahan ketika suara dikekang, ruang dibatasi, dan publik memilih diam. Saya takut, yang kita hadapi hari ini bukan hanya krisis politik, tapi krisis kesadaran.