Secara pribadi, saya tidak berpihak pada salah satu pihak dalam konflik Israel--Iran. Namun, memahami konflik ini secara ilmiah menuntut kita untuk melihat peta kekuatan di balik layar, khususnya peran Amerika Serikat sebagai aktor utama dalam arsitektur keamanan Timur Tengah.
Amerika Serikat: Kekuatan di Timur Tengah
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat telah menempatkan Timur Tengah sebagai kawasan strategis karena dua alasan utama: cadangan energi dunia dan lokasinya yang rawan konflik. Untuk menjaga pengaruhnya, Washington membangun aliansi erat dengan negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, UEA, Qatar, dan Bahrain. Keamanan mereka dijamin melalui penempatan pangkalan militer AS, latihan bersama, dan suplai senjata canggih.
Israel, dalam konteks ini, bukanlah mitra utama negara-negara Teluk, melainkan salah satu alat strategis AS dalam menjaga keseimbangan kekuatan kawasan. Kemitraan utama Teluk tetap berada pada hubungan langsung dengan Amerika Serikat, bukan dengan Israel secara formal (setidaknya sebelum normalisasi seperti Abraham Accords). Bahkan, beberapa negara Teluk secara historis tetap menjaga jarak dari Israel demi stabilitas domestik dan solidaritas Arab terhadap Palestina.
Iran: Ambisi Regional dan Kekuatan Ideologis
Di sisi lain, Iran menghadirkan ancaman ganda bagi negara-negara Teluk: militer dan ideologi. Melalui jaringan milisi Syiah dan proksi bersenjata di Irak, Suriah, Lebanon (Hizbullah), dan Yaman (Houthi), Iran berupaya memperluas pengaruh regionalnya, tak sekadar demi geopolitik, tetapi juga untuk menyebarkan doktrin Revolusi Islam 1979 yang berbasis Syiah.
Bagi negara-negara Teluk yang mayoritas Sunni, ini adalah ancaman langsung terhadap legitimasi politik dan kohesi sosial internal mereka. Mereka menilai ekspansi Iran bukan sekadar strategi luar negeri, tetapi agenda perubahan rezim di kawasan.
Jika Israel Hancur, Siapa yang Paling Rugi?
Dalam skenario hipotetik jika Israel mengalami kekalahan strategis besar atau bahkan keruntuhan, negara-negara Barat tidak akan terkena dampak langsung secara geografis. Namun, negara-negara Teluklah yang paling terancam, karena mereka akan kehilangan satu "penyeimbang militer" terhadap Iran di kawasan.
Namun perlu dicatat: meskipun Israel berguna secara taktis, pilar utama pertahanan negara-negara Teluk tetaplah kehadiran Amerika Serikat. Tanpa AS, banyak kerajaan di Teluk tidak memiliki kapasitas militer yang memadai untuk menghadapi Iran secara langsung.
Mengapa Arab Saudi Bingung Menentukan Musuh?
Arab Saudi kini berada dalam dilema geopolitik. Di satu sisi, mereka menganggap Iran sebagai musuh ideologis yang berupaya menggoyang stabilitas kawasan. Di sisi lain, menjalin hubungan terbuka dengan Israel berisiko menimbulkan resistensi domestik dan mengganggu citra mereka sebagai penjaga dua tanah suci.
Namun, lebih dari itu, yang membuat posisi Arab Saudi rapuh adalah ketergantungan mereka terhadap proteksi militer AS. Jika AS suatu saat mengurangi kehadiran militernya maka ancaman dari Iran akan terasa sangat nyata.
Negara Teluk Dukung Siapa?
Namun ketika kita bertanya kepada negara negara Teluk "dukungan kepada siapa?", maka jawaban realistisnya bukan terletak pada Israel atau Iran, melainkan pada sistem keamanan yang dirancang Amerika Serikat. Negara-negara Teluk tidak mendukung Israel secara ideologis, tetapi mereka tetap bergantung pada strategi pertahanan AS untuk menahan ancaman Iran.
Israel hanyalah pion penting dalam skema ini, terlihat tajam di permukaan, tapi tak pernah bergerak tanpa restu dari Washington. Sebaliknya, Amerika Serikat adalah dalang geopolitik kawasan yang keberadaannya menentukan arah konflik, posisi mitra Teluk, dan bahkan nasib rezim-rezim di kawasan.
Â
Teluk Pragmatis?
Karena itu, wajar jika negara-negara Teluk tidak pernah secara terbuka membantu Palestina melawan Israel. Fokus utama mereka adalah menjaga stabilitas internal dan menghadang ekspansi Iran, bukan konfrontasi langsung dengan Israel yang justru dapat mengganggu hubungan strategis mereka dengan Amerika Serikat.
Isu bahwa Pangeran Mohammed bin Salman pernah "membayar" dukungan Donald Trump demi perlindungan terhadap ancaman Iran pun bukan sekadar rumor. Itu mencerminkan realitas diplomasi transaksional antara Riyadh dan Washington, di mana keamanan dibeli demi kelangsungan kekuasaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI