Saya tak tahu sejak kapan saya menyukai buku. Yang jelas sebelum masuk SD saya sudah bisa membaca dengan baik meski tak belajar di TK atau Paud. Dan ketika itu saya sudah mulai rajin membaca buku.
Bapak adalah kepala sekolah SDN 2 Mala-Mala, sebuah desa yang terletak di Kabupaten Kolaka Utara sekarang. Setiap ada kiriman buku-buku dari kecamatan atau kabupaten, buku-buku itu mampir di rumah dulu. Dan tak diantar ke sekolah kecuali saya sudah membacanya semua.
Bukan hanya buku-buku cerita, tapi buku-buku berat bacaan bapak juga saya baca. Seperti majalah Sabili, majalah Al-Muslimun, Hidayatullah, buku Soal-Jawab  A. Hassan yang berjilid-jilid pun saya baca. Namun buku bapak yang paling saya gemari adalah Karakteristik Perihidup 60 Shahabat Rasulullah.
Kegemaran ku pada buku berlanjut saat saya pindah sekolah. Bapak mengirim saya ke kota. Di rumah nenek. Saya belajar di sebuah sekolah Ibtidaiyah. Saat itu ketika meminjam buku di perpustakaan, kami harus membayar 100 rupiah perhari. Saya menyisihkan uang jajan yang 500 rupiah untuk sebuah buku perhari.
Saat tamat SD. Saya belajar di sebuah pesantren di Amamotu, kabupaten Kolaka. Syukurnya, pesantren punya perpustakaan. Dan untungnya lagi pesantren selalu mendapatkan kiriman buku-buku baru. Saat itu saya suka membaca novel serial karya Alfred Hitchcock (meski ia bukan penulis aslinya), judulnya Trio Detektif. Tak ada yang tersisa dari 43 buku berseri itu.
Tapi saya lebih jatuh cinta pada novel-novel sastra Melayu Minang klasik karya Hamka, Sultan Takdir Alisjahbana, Achdiat Karta Mihardja, Marah Rusli, N. St. Iskandar, dan teman-temannya. Sengsara Membawa Nikmat, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di bawah Lindungan Ka'bah, Katak Hendak Jadi Lembu, Siti Nurbaya, Atheis, dan buku novel sastra lainnya biasanya saya lahap hanya sehari.
Hebatnya, saya terkadang menangis saat membacanya. Hanyut pada ceritanya. Bahkan lebaynya, saya membayangkan ceritanya terjadi pada kehidupan saya. Saya bahkan jatuh cinta pada sosok Siti Nurbaya, Halimah, Zainab, dan Hayati, watak-watak wanita dalam novel-novel sastra di atas.
Pernah suatu ketika, perpustakaan ditutup. Saya lupa alasannya. (Mohon maaf, tak apa-apa saya ceritakan) Tengah malam saya memasukkan tangan lewat kaca nako jendela hanya untuk mengambil buku tanpa ijin. Terkadang butuh belasan kali mengulang untuk mendapatkan buku yang saya inginkan.
Saat masuk SMA, saya akhirnya mengenal novel dan cerpen Islami. Tulisan Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, Pipiet Senja, dan teman-temannya.
Lalu saat kuliah datanglah Habiburrahman El Shirazy, Andrea Hirata, Tere Liye, dan lainnya. Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Pudarnya Pesona Cleopatra, dan lain-lain bisa saya baca hanya sehari. Bahkan tak tidur sepanjang malam karena membacanya.
Â
Saya pun juga mengenal novel-novel impor karya Dan Brown yang buku-buku detektifnya yang tebal  lagi rumit ceritanya saya lahap paling lama dua hari.
Lalu semua pudar semasa datangnya smartphone. Cerita yang ada di Wattpad tak menarik buatku. Kini berganti pada kegemaran membaca berita bola, politik, dan sebagainya. Lalu kemudian sosmed merajalela, jadilah status orang jauh lebih banyak saya baca dibanding tulisan bermanfaat.Â
Untungnya di sosmed masih banyak penulis-penulis hebat semacam Muafa, Tere Liye, Arham Rasyid, Dahlan Iskan, Yusran Darmawan, Tomi Lebang, dan sebagainya sehingga sedikit bisa mengimbangi informasi tak penting dari status-status yang berseliweran di beranda.
Meski tak sesuka membaca novel, tapi durasi saya membaca di lewat smartphone masih panjang. Tapi karena cahaya HP yang tak baik untuk mata, jadi saya membatasinya meski tarkadang tetap kebablasan.
Apa pun itu, mengutip syair Al-Jahidzh, membaca adalah teman terbaik kala senggang. Tak ada teman yang lebih baik daripada buku saat sendirian. Buku adalah teman yang tak memujimu, tak juga mencelamu, tak akan pernah bosan padamu.
Selamat membaca....