Baru-baru ini, publik kembali digemparkan oleh sebuah kasus yang menyayat hati dunia pendidikan. Seorang Kepala Sekolah dilaporkan ke pihak berwajib oleh orangtua siswa hanya karena menegur anaknya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Teguran yang sejatinya dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan pembinaan justru dianggap sebagai bentuk kekerasan. Ironis, di tengah usaha menjaga wibawa pendidikan malah justru merekalah yang kini gampang terancam secara hukum.
Peristiwa ini sontak menjadi viral di media sosial. Banyak pihak di kolom komentar menunjukkan dukungan kepada sang Kepala Sekolah. Terlebih setelah 630 siswa di sekolah tersebut melakukan aksi solidaritas yang keliru yakni dengan mogok belajar. Publik merasa bahwa Kepala Sekolah tidak pantas diperlakukan demikian dalam kasus ini. Karena yang beliau lakukan murni demi kebaikan siswa. Dari situ tampak jelas bahwa publik pun masih banyak yang mampu membedakan antara kepedulian kasih sayang dan kekerasan.
Nah, di sisi lain kasus ini menimbulkan pertanyaan besar.
Apakah kita masih menghargai peran sekolah sebagaimana mestinya?
Apakah setiap tindakan tegas dari pihak sekolah kini harus disertai rasa takut akan dilaporkan polisi?
Jika demikian, bagaimana masa depan disiplin di sekolah akan dijaga?
Guru dan Kepala Sekolah adalah figur moral yang bertugas tidak hanya mengajar tetapi juga membentuk karakter. Ketika siswa melakukan pelanggaran berat seperti merokok di sekolah maka itu bukan sekadar kenakalan kecil. melainkan tanda perlunya pembinaan serius. Tetapi sayangnya, tindakan mendidik kini justru dihadapkan pada risiko dikriminalisasi.
Kasus ini bukan yang pertama dan mungkin bukan yang terakhir jika akar masalahnya tidak segera disadari bersama. Di balik kasus ini, tersimpan persoalan mendasar yakni hilangnya komunikasi sehat antara orangtua dan pihak sekolah. Dalam banyak kasus serupa yang muncul bukan dialog melainkan amarah dan laporan kepolisian.
Padahal, pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Ketika orangtua dan guru tidak berjalan seirama maka jelas yang paling dirugikan adalah anak atau peserta didik. Mereka akan tumbuh tanpa batas yang jelas antara benar dan salah. Karena setiap kesalahan selalu ada pembelaan. Di sinilah sesungguhnya krisis nilai itu bermula.
Kasus ini menjadi cermin buram yang menggambarkan betapa rapuhnya hubungan antara keluarga dan sekolah dewasa ini. Seharusnya ketika seorang siswa berbuat salah maka orangtua dan sekolah bersatu untuk memperbaikinya. Bukan malah kompak menyalahkan dan mempermalukan guru dan atau Kepala Sekolahnya.
Ada Sekat Dibangun Orangtua terhadap Sekolah
Hubungan antara orangtua dan pihak sekolah kini terasa seperti terpisah oleh sekat dinding tebal. Padahal keduanya memiliki tujuan yang sama jika ingin anak tumbuh menjadi pribadi yang baik dan bertanggung jawab. Namun yang terjadi ialah komunikasi seringkali digantikan asumsi. Dan kerjasama tergantikan oleh kecurigaan.
Bayangkan jika sejak awal orangtua mau membuka diri. Jika setiap permasalahan dibicarakan secara tenang dan jujur tentu tak perlu ada laporan polisi. Teguran dari guru bisa dimaknai sebagai tanda perhatian, bukan penghinaan. Karena niat seorang pendidik sejati selalu berangkat dari cinta terhadap muridnya.
Guru dan Kepala Sekolah tidak mungkin ingin mencelakai anak didiknya. Kalaupun terjadi tindakan spontan seperti menepuk pundak atau memegang bahu. Maka itu lahir dari refleks keprihatinan, bukan kekerasan. Hanya saja, di zaman serba sensitif ini, tindakan tegas sering disalahartikan.
Jika saja orangtua mau sejenak menempatkan diri di posisi guru. Mungkin mereka akan memahami betapa beratnya tanggung jawab moral yang dipikul. Guru harus mendidik, menasehati, dan menjaga ratusan siswa agar tetap berjalan di jalur yang benar. Semua itu dilakukan bukan karena mereka ingin dipuja-puji. tetapi karena mereka mencintai generasi penerus bangsa ini.
Sekat komunikasi inilah yang harus segera diruntuhkan. Sekolah bukan lawan rumah, dan guru bukan ancaman bagi anak maupun orangtua. Di ruang kelas, anak-anak belajar juga dari keteladanan, ketegasan, dan kasih sayang. Maka, janganlah orangtua memutus mata rantai kebaikan itu dengan rasa curiga berlebihan.
Mari kita kembalikan makna kepercayaan. Ketika orangtua mempercayakan anaknya ke sekolah maka itu berarti juga mempercayakan sebagian proses pembentukan karakternya. Jangan hilangkan kepercayaan itu hanya karena satu peristiwa yang belum tentu benar secara keseluruhannya.
Stop Memanjakan dan Membela Anak Bila Salah
Salah satu kesalahan terbesar yang kini sering dilakukan orangtua adalah membela anak tanpa melihat konteks. Ketika anak ditegur maka langsung dianggap korban. Padahal jika kesalahan itu fatal maka pembelaan seperti itu hanya akan membuat anak kehilangan rasa tanggung jawab.
Orangtua perlu menyadari bahwa tidak semua teguran berarti kekerasan. Dalam dunia pendidikan, teguran adalah bagian dari kasih sayang. Sebab, lebih baik anak ditegur saat muda daripada menyesal di kemudian hari ketika dunia nyata menegur lebih keras.
Ketika orangtua terus membenarkan perilaku salah maka anak akan belajar bahwa apapun yang ia lakukan akan selalu ada pembela. Ia tak lagi mengenal batas dan merasa berhak berbuat sesuka hati. Ini berbahaya, bukan hanya bagi dirinya tetapi juga bagi masyarakat di sekitarnya.
Jujurly, siapa yang sebenarnya dirugikan dari kebiasaan memanjakan ini?
Bukan guru, bukan sekolah, melainkan anak dan orangtua itu sendiri. Anak tumbuh tanpa mental tangguh, tanpa kemampuan menerima kesalahan, tanpa kesadaran moral. Padahal dunia kerja dan kehidupan dewasa nanti tidak akan sebaik hati orangtuanya.
Orangtua sejati bukanlah yang selalu membela. melainkan yang berani mengakui kesalahan anak dan bersama-sama memperbaikinya. Dukungan sejati bukan berupa pembenaran tapi pendampingan agar anak belajar dari kesalahannya.
Sudah saatnya orangtua kita mengubah pola pikir. cinta tidak selalu berarti membela. Kadang, cinta justru berarti berani membiarkan anak belajar dari akibat perbuatannya. Dengan begitu, ia tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan bertanggung jawab.
Menuju Generasi
TakBeradab
Tujuan utama pendidikan adalah membentuk manusia yang beradab dan bermoral. Yup, bukan sekadar pintar.Â
Di tengah gempuran teknologi dan perkembangan zaman menjadikan nilai-nilai moral seringkali terkikis. Maka guru dan sekolah memegang peran penting untuk menjaga arah agar generasi muda tetap berpijak pada nilai-nilai sebagaimana yang ada dalam Pancasila sila ke-2.
Namun, cita-cita ini tidak akan terwujud jika setiap upaya pembinaan justru dihambat oleh ketakutan. Guru akan enggan menegur, Kepala Sekolah akan berhati-hati berlebihan, dan akhirnya disiplin menjadi hampa. Sekolah takut mendidik lalu dimana tempat lahirnya generasi tangguh.
Kita semua ingin melihat anak-anak Indonesia tumbuh menjadi manusia yang berakhlak mulia, menghormati yang lebih tua, dan memiliki tanggung jawab sosial. Tapi cita-cita itu tidak bisa dicapai jika setiap teguran terlalu cepat dianggap kekerasan. dan setiap peringatan dianggap ancaman.
Mari kita refleksikan kembali bahwa bangsa besar tidak lahir dari anak-anak manja yang tak bisa ditegur atau sekedar diingatkan pada hal yang baik. Bangsa besar lahir dari generasi yang belajar disiplin, menghargai aturan, dan berani memperbaiki diri ketika bersalah.
Sekali lagi, mendidik bukan hanya urusan sekolah tapi juga rumah. Ketika orangtua dan sekolah beriringan, barulah karakter anak bisa utuh terbentuk. Maka, sudah saatnya kita berhenti memperlebar jurang di antara keduanya dan mulai membangun jembatan kepercayaan yang kokoh.
Inilah saatnya kita kompak mendukung guru (yang benar), bukan mempersulit. Karena di tangan guru yang tegas dan berintegritas lah masa depan bangsa dititipkan. Iya kan?
Pesan Moral
Kasus kriminalisasi guru ataupun Kepala Sekolah ini seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pihak. Kita perlu menata ulang kembali cara pandang terhadap profesi pendidik. Mereka bukan lawan, bukan sosok yang harus dicurigai. melainkan mitra sejati dalam mendidik anak-anak kita.
Jika setiap teguran diartikan sebagai kekerasan maka sekolah akan kehilangan wibawanya. Anak-anak pun akan tumbuh tanpa arah karena tidak ada lagi figur yang berani menegakkan nilai-nilai kebenaran. Kita tidak ingin itu terjadi, bukan?
Mari bersama-sama mengembalikan marwah pendidikan. Lindungi guru dan Kepala Sekolah sebagaimana mereka melindungi masa depan anak-anak kita. Jangan biarkan satu kesalahpahaman menghancurkan fondasi kepercayaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
Pendidikan sejati hanya akan berhasil jika ada sinergi antara rumah, sekolah, masyarakat dan pemerintah. Semua pihak harus berjalan beriringan dan bukan saling mengkambinghitamkan. Ketika anak berbuat salah yang dibutuhkan bukan pembelaan melainkan pembinaan.
Kita semua pernah muda dan tentu pernah salah. Tapi yang membuat kita dewasa adalah karena ada orang yang berani menegur kita. Maka, biarkan guru tetap memiliki ruang untuk menegur ---dengan cinta, dengan tanggung jawab, dengan niat mendidik.
Jangan biarkan rasa takut menggantikan ketegasan. Jangan biarkan laporan hukum membungkam nurani pendidik. Karena jika guru tidak lagi berani menegur maka generasi masa depan akan kehilangan arah.
Jagalah kehormatan itu. Rawatlah kepercayaan antara rumah dan sekolah. Dan bersama-sama wujudkan cita-cita besar melahirkan generasi muda Indonesia yang beradab, bermoral, dan siap memimpin dunia dengan akal dan hati yang sehat. Insya Allah.
Semoga ini bermanfaat.
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== AKBAR PITOPANG ==
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI