Sistem pembelajaran kita mengalami pergeseran paradigma yang cukup signifikan. Kali ini, lewat kehadiran satu istilah baru: kokurikuler. Meskipun tidak seviral P5 saat awal kemunculannya, kokurikuler mulai menarik perhatian para pendidik. Pasalnya, kegiatan ini kini masuk dalam struktur pembelajaran resmi. Bahkan punya jatah waktu tersendiri dalam jadwal pelajaran.
Buat yang masih bingung, kokurikuler bukan sekadar aktivitas tambahan. Ia hadir sebagai bagian dari strategi penguatan materi intrakurikuler —alias pelajaran utama— dengan pendekatan yang lebih fleksibel, kreatif, dan mendalam.
Yup, ini bukan sekadar teori. Pemerintah melalui Kurikulum Merdeka sudah mengatur bahwa kokurikuler dialokasikan 1 JP alias 35 menit dalam sepekan untuk tiap kelas.
Nah, meski terkesan singkat tapi kalau dimanfaatkan dengan tepat maka kokurikuler bisa menjadi jembatan menuju deep learning atau pembelajaran mendalam yang selama ini jadi cita-cita besar menteri Dikdasmen.
Lalu, apa sebenarnya deep learning? Ini pendekatan belajar yang fokus pada pemahaman konsep secara utuh. Dalam deep learning, siswa didorong untuk menganalisis, mengevaluasi, menciptakan, dan memecahkan masalah. Bukan hanya menerima informasi tapi juga mengolahnya hingga menjadi makna yang aplikatif dalam kehidupan nyata.
Sayangnya, pendekatan ini sulit dilakukan dalam sistem pembelajaran konvensional yang padat materi dan terbatas waktu. Di sinilah kokurikuler masuk sebagai "ruang bernapas" yang sangat dibutuhkan guru dan siswa.
Kokurikuler membuka peluang bagi guru untuk merancang aktivitas yang lebih mendalam, kontekstual, dan menyenangkan tanpa harus tertekan mengejar target kurikulum.
Misalnya, alih-alih hanya menjelaskan konsep daur air di papan tulis, guru IPA bisa mengajak siswa membuat mini water cycle di dalam botol plastik dan mengamati perubahannya selama jangka waktu sepekan.
Dengan cara ini, siswa belajar tidak hanya melalui kata-kata tapi melalui pengalaman langsung. Inilah esensi dari mindful learning —belajar dari mengalami bukan hanya mendengar.
Laporan dari World Economic Forum menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kreativitas adalah tiga keterampilan yang paling dibutuhkan dalam dunia kerja masa depan. (sumber)
Semua itu bisa dilatih melalui pendekatan deep learning yang didukung oleh kegiatan kokurikuler. Artinya, 35 menit ini punya potensi yang besar. Sayangnya, belum semua sekolah atau guru memahami peluang ini. Banyak yang menganggap kokurikuler hanya sebagai tambahan, formalitas, atau bahkan beban baru.