Padahal, di TK anak-anak tidak sekadar bermain. Mereka belajar berkomunikasi, mengenal struktur kegiatan, dan memahami aturan sosial. Semua ini akan jadi fondasi kuat ketika masuk SD.
Jika karena alasan tertentu orangtua tidak mendaftarkan anak ke TK maka sebaiknya tetap menyediakan alternatif edukasi di rumah. Misalnya, ikut bimbingan belajar, belajar melalui permainan edukatif, masuk les privat atau ikut kelompok bermain di lingkungan sekitar.
Orangtua juga bisa memanfaatkan teknologi. Saat ini banyak aplikasi edukatif yang disesuaikan dengan kebutuhan anak usia dini. Asalkan dengan pendampingan, penggunaan teknologi bisa jadi sarana belajar.
Mengisi masa prasekolah dengan aktivitas pendidikan informal adalah solusi realistis jika akses ke TK sulit dijangkau. Yang penting, anak tetap memiliki pengalaman belajar dasar sebelum memasuki SD.
Peran keluarga sangat krusial dalam masa transisi anak dari rumah ke sekolah. Anak yang sudah terbiasa dengan rutinitas, disiplin waktu, dan komunikasi dua arah akan lebih mudah menyesuaikan diri.
Di banyak negara maju, pendidikan dan pengasuhan anak usia dini bahkan menjadi bagian wajib sebelum masuk sekolah dasar. Finlandia misalnya, menekankan pentingnya bermain sambil belajar di masa awal kehidupan anak. (sumber)Â
TK Jadi Tahapan Wajib Sebelum SD?
Di Indonesia, TK memang belum menjadi jenjang wajib. Tapi pemerintah sudah mulai menaruh perhatian lebih besar pada pentingnya pendidikan prasekolah.
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama dari pemerintah, sekolah, dan orangtua/keluarga. Jika salah satu pihak lepas tangan maka yang paling dirugikan adalah anak.
Guru SD sejatinya bukan "penyelamat" yang bisa memperbaiki semua hal. Guru juga manusia biasa yang juga memiliki keterbatasan waktu dan energi dalam menangani banyak siswa dengan profil latar belakang yang beragam.
Guru bisa memberikan stimulus, namun pondasi pembiasaan belajar tetap harus dimulai sejak usia dini. Dan peran ini tidak tergantikan oleh siapapun selain orangtua atau keluarga di rumah.