Tahun ajaran 2024/2025 menandai sebuah babak baru dalam sejarah pendidikan Indonesia. Bukan soal kurikulum atau sistem pembelajaran melainkan tentang sebuah dokumen sakral yang menjadi bukti kelulusan siswa. Yaitunya, ijazah. Dalam kebijakan terbaru, ijazah yang diterbitkan untuk lulusan tahun ini tidak lagi memuat cap tiga jari ataupun tanda tangan siswa. Sekilas terdengar modern dan efisien. Tapi, benarkah ini langkah maju?
Perubahan ini sontak menuai reaksi beragam di media sosial. Banyak yang kaget, bingung, bahkan kecewa dengan tampilan baru ijazah yang akan diterima siswa.
Warganet ramai membandingkan ijazah lama dengan yang baru. Jika dahulu ijazah dicetak di kertas tebal berbingkai elegan, kini hanya berupa lembaran kertas biasa. Seperti hasil print yang bisa dilakukan semua orang.
Salah satu hal yang paling disorot adalah ketiadaan tanda tangan siswa dan cap tiga jari. Dua elemen ini selama bertahun-tahun menjadi simbol keaslian dan legalitas dokumen kelulusan.
Beberapa netizen bahkan menyebut ijazah sekarang mirip "lembar sertifikat lomba" ketimbang dokumen resmi negara. Kritik tajam ini bukan tanpa alasan.
Yang lebih mencemaskan lagi bahwa ijazah baru ini bahkan tidak dilengkapi dengan QR code untuk validasi data secara digital. Ini jelas menjadi celah besar untuk pemalsuan.
Jika difotokopi pun bentuk ijazah nyaris tidak bisa dibedakan dengan aslinya. Padahal, salah satu alasan utama penggunaan dokumen cetak adalah untuk mencegah manipulasi.
Di tengah era digitalisasi, justru yang kita butuhkan adalah sistem keamanan ganda. Digital boleh, tapi validasi tetap harus kuat.
Tidak Sekedar Transformasi Digitalisasi PendidikanÂ
Pertanyaannya, kenapa bentuk ijazah kita sekarang bisa "menyedihkan" seperti ini? Di mana letak salahnya?
Pemerintah menyebut bahwa ini adalah bagian dari transformasi menuju e-ijazah atau ijazah elektronik. Tapi jika memang demikian, seharusnya sistem pendukungnya juga dimatangkan.
Transformasi digital di dunia pendidikan adalah keniscayaan. Tapi tidak semestinya meninggalkan aspek keamanan dan estetika yang telah lama dijaga.
Dalam sistem pendidikan di luar negeri misalnya, transisi ke dokumen digital dilakukan dengan sistem keamanan berbasis blockchain. Transparan dan tidak bisa diutak-atik.
Sementara di Korea Selatan, QR code dan sistem otentikasi biometrik jadi standar dalam sertifikasi kelulusan. Indonesia mestinya bisa mengambil pelajaran dari sana.
Tanpa sistem pengaman maka ijazah justru bisa kehilangan nilai legitimasi di mata pemberi kerja maupun lembaga swasta lainnya.
Selain itu, bagi siswa sendiri pun bisa menyebabkan kehilangan unsur "sentimental" dalam ijazah seperti tanda tangan dan cap tiga jari seolah menghilangkan nilai sejarah dari perjuangan mereka selama sekolah.
Cap tiga jari bukan sekadar tinta di atas kertas. Ia adalah simbol kehadiran siswa secara fisik dan emosional dalam proses pendidikan.
Banyak orangtua pun mengeluhkan perubahan ini. Mereka merasa ijazah anaknya tidak terlihat seperti dokumen penting. melainkan seperti selembar kertas biasa.
Mungkin bagi sebagian kalangan kebijakan ini tampak sepele. Tapi untuk masyarakat luas, ijazah tetaplah lambang pencapaian yang sangat berarti.
Ijazah Harus Bebas PemalsuanÂ
Kita tentu paham dunia berubah. Teknologi berkembang. Tapi perubahan harus tetap berorientasi pada nilai dan makna.
Digitalisasi bukan alasan untuk menanggalkan identitas dan keautentikan dokumen penting. Apalagi jika tidak dibarengi sistem validasi yang kuat.
Justru ini momen emas bagi pemerintah untuk membangun sistem digital yang kredibel, aman, dan inklusif.
Bayangkan jika ijazah bisa diakses lewat sistem terintegrasi, dengan QR code, atau adanya digital signature.
Hal ini akan memudahkan verifikasi, menghemat biaya cetak, dan menghindarkan dari kehilangan dokumen. Tapi kuncinya adalah harus aman.
Jika tidak, maka ijazah justru jadi ladang baru pemalsuan. Dan itu akan merugikan semua pihak. terutama siswa yang benar-benar berjuang untuk lulus.
Kasus pemalsuan ijazah sebenarnya bukan hal baru. Tapi bentuk ijazah yang rentan ditiru justru membuka peluang semakin besar.
Untuk diketahui, ijazah adalah dokumen negara yang termasuk kategori dokumen penting. Maka dari itu, perlakuannya harus sama seriusnya seperti dokumen lainnya. Tidak bisa dibuat ala kadarnya.
Saran untuk PemerintahÂ
Jika pemerintah ingin menghapus cap tiga jari, maka harus digantikan dengan sistem keamanan digital yang andal. Misalnya barcode, digital watermark, atau QR code.
Siswa Indonesia pun layak mendapatkan yang terbaik. Apalagi di tengah tantangan pendidikan saat ini yang makin kompleks.
Agaknya kita tak bisa menuntut siswa untuk serius belajar jika hasil perjuangan mereka hanya dicetak di kertas biasa yang mudah rusak dan disamakan dengan fotokopian.
Transformasi tidak bisa dimaknai sebagai pengurangan kualitas. Kemajuan harus dimaknai sebagai peningkatan efisiensi tanpa mengorbankan kualitas dan integritas.
Dalam konteks pendidikan, dokumen kelulusan adalah salah satu simbol integritas tersebut. Ia bukan formalitas tapi bentuk penghargaan terhadap capaian siswa.
Maka wajar jika banyak yang mempertanyakan. Apakah ini kemajuan atau kemunduran?
Pemerintah melalui Kemendikdasmen sebaiknya memberi penjelasan resmi terkait kebijakan ini. Termasuk mengedukasi publik soal alasan dan tujuan di balik perubahan format ijazah.
Komunikasi yang transparan akan membangun kepercayaan publik. Tanpa itu, spekulasi dan kritik akan terus meluap-luap.
Selain itu, pemerintah perlu menyertakan regulasi teknis terkait pengamanan ijazah, baik cetak maupun digital. Ini penting untuk mencegah penyalahgunaan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.
Tak kalah penting, sekolah juga harus memahami tentang standar penyimpanan dan distribusi ijazah digital. Jangan sampai terjadi kesalahan teknis yang berdampak serius.
Sementara itu, meskipun kini ijazahnya tampak sangat sederhana, siswa juga perlu diberikan edukasi bahwa ijazah bukan sekadar syarat administratif tapi bukti sah perjuangan akademik mereka.
Tapi jangan setengah-setengah. Jangan hanya sekadar menghapus cap jari dan tanda tangan. lalu tidak memberikan alternatif validasi lain.
Apapun bentuknya nanti ---cetak atau digital--- yang penting adalah keaslian, keabsahan, dan kebanggaan di dalamnya tetap terjaga.
Mari kita dorong setiap kebijakan pendidikan tetap berpihak pada kualitas, keadilan, integritas, dan keamanan.
Karena masa depan pendidikan Indonesia ditentukan bukan hanya oleh sistem pembelajaran. tapi juga oleh cara kita menghargai hasil belajar.
Dan ijazah ---seperti apapun bentuknya--- adalah salah satu wujud penghargaan tertinggi dari negara kepada pelajar. Maka jangan sampai ia kehilangan makna dan marwah.
Semoga ini bermanfaat.
Literasi:Â
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== AKBAR PITOPANG ==
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI