Pada tanggal 9 Desember yang lalu, diperingati Hari Anti Korupsi Sedunia yang telah menjadi momen penting yang seharusnya memicu refleksi mendalam dalam kehidupan sehari-hari kita.Â
Bahwasanya korupsi, yang telah mengakar dalam struktur sosial Indonesia, bukan sekadar masalah hukum, melainkan juga sebuah ironi yang meresap dalam budaya kita.Â
Meski pemerintah telah lama berupaya memberantasnya, korupsi sepertinya terus tumbuh dan melakukan regenerasi perilaku yang merugikan ini.
Masyarakat masih menjadi korban dari perbuatan ini. misalnya ketika dana sosial dan penanganan stunting yang seharusnya menjadi penyelamat malah jatuh ke tangan yang tidak bertanggung jawab.
Ironisnya, korupsi tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menzalimi masyarakat luas.Â
Bayangkan jika dana-dana tersebut digunakan dengan benar, mungkin saja Indonesia telah menjelma menjadi negara maju dan berdikari tanpa kendala korupsi yang menghantui setiap lapisan masyarakat.
Mengubah paradigma dan membangun mentalitas anti-korupsi harus menjadi misi bersama. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tugas kita sebagai warga negara yang peduli terhadap masa depan bangsa.
Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa korupsi telah merajalela di negeri ini. Namun, bukankah setiap perubahan dimulai dari diri sendiri?Â
Meskipun realitas ini terus berlanjut, kita tidak boleh pasrah. Upaya bersama untuk memerangi godaan korupsi harus dimulai dari lingkungan terdekat kita, yaitu dari diri sendiri dan keluarga.Â
Dorongan dan rayuan untuk terlibat dalam korupsi mungkin hadir dalam berbagai bentuk, baik besar maupun kecil. Oleh karena itu, menjaga diri kita sendiri dan keluarga dari godaan ini adalah langkah pertama menuju perubahan nyata.
Momen peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia ini bukan sekadar pengingat akan keburukan korupsi, tetapi juga panggilan untuk bersama-sama mengubah situasi yang memprihatinkan ini.Â
Selamatkan Indonesia dari jeratan budaya negatif ini, dan bersama kita wujudkan Indonesia yang adil, maju, dan berdikari.
Peran guru dalam membangun integritas kunci perubahan
Tidak peduli profesi apa yang kita geluti, tanggung jawab untuk melibatkan diri dalam pencegahan tindakan berbau korupsi adalah panggilan untuk kita bersama.Â
Hal ini menjadi semakin penting ketika kita memandang peran guru atau tenaga pendidik di sekolah sebagai kunci perubahan.
Guru memiliki kekuatan untuk membentuk karakter anti korupsi pada diri peserta didik, dan salah satu fondasi terpenting adalah nilai-nilai kejujuran dan integritas.
Sebagai contoh, dalam proses asesmen atau penilaian hasil belajar peserta didik, guru memiliki peran sentral dalam membentuk prinsip kejujuran.Â
Menerapkan kebijakan pengurangan kebiasaan mencontek menjadi langkah sederhana namun signifikan.Â
Melalui ujian/asesmen penilaian yang dijalankan dengan kejujuran, guru tidak hanya menilai pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral yang kuat.
Mengapa hal ini begitu penting?Â
Kebiasaan mencontek, jika dibiarkan berkembang, dapat menjadi benih korupsi di kemudian hari. Guru harus menjadi pionir dalam membimbing siswa untuk menghindari perilaku negatif ini.Â
Dengan menunjukkan keteladanan dan mendorong kejujuran sejak dini, guru memberikan dasar yang kokoh untuk melibatkan siswa dalam proses pembelajaran tanpa mengorbankan nilai-nilai positif.
Membiarkan siswa terbiasa mencontek untuk memperoleh nilai bagus bukanlah sekadar masalah akademis, tetapi juga menyemai benih korupsi yang dimulai dalam budaya sekolah.Â
Guru memiliki kesempatan untuk membentuk budaya yang berfokus pada prestasi yang diperoleh melalui upaya dan kejujuran.Â
Membentuk dan mempersiapkan karakter generasi penerus ini untuk menghadapi tantangan dunia nyata yang bersih dari korupsi harus menjadi prioritas bersama kita.
Guru bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan (knowledge), tetapi juga tentang membentuk karakter dan moralitas.Â
Dengan demikian, sekolah tidak hanya memberikan pendidikan berkualitas, tetapi juga mendidik generasi yang tumbuh dengan kesadaran bahwa kejujuran adalah pondasi utama bagi kemajuan tanpa cela korupsi.
Dukungan Orangtua: orientasi pada proses bukan hasil akhir
Selain peran krusial guru dalam pembentukan karakter anak, orangtua dan keluarga juga memiliki peran tak kalah penting dalam mendukung penanaman nilai-nilai kejujuran dalam proses belajar dan transformasi karakter siswa sesuai Profil Pelajar Pancasila.
Orangtua bukan hanya figur penting dalam kehidupan sehari-hari anak, tetapi juga memiliki pengaruh besar terhadap bagaimana anak memahami arti sebenarnya dari nilai-nilai moral, seperti kejujuran.
Diperlukan upaya edukasi bagi orangtua, dimana mereka perlu menyadari bahwa penilaian hasil belajar tidak semata-mata hanya tentang memperoleh nilai tinggi.Â
Guru memiliki pemahaman mendalam terhadap proses belajar siswa, termasuk kemampuan dan upaya yang anak didiknya lakukan. Apalagi di era Kurikulum Merdeka, dimana KKTP (dulu KKM di Kurikulum 2013) sudah disesuaikan dengan kemampuan dan profil siswa.
Oleh karena itu, orangtua dapat memberikan dukungan lebih baik dengan mengajarkan anak untuk menghargai proses belajar dan menerima hasilnya dengan lapang dada.
Pemahaman yang keliru tentang orientasi nilai akhir menjadikan para orangtua memiliki ambisi agar anaknya mendapatkan nilai yang bagus. Sehingga orangtua hanya memberikan tekanan yang akan mempengaruhi kesehatan akal dan kesehatan mental anaknya.
Orangtua wajib mengingatkan anak bahwa menyontek bukanlah jalan yang benar untuk mencapai keberhasilan. Lebih baik menerima nilai yang diperoleh dengan kejujuran daripada mencapai nilai tinggi dengan cara yang tidak benar.Â
Orangtua dapat menjadi panutan dan motivator dalam memberikan contoh dan mendukung anak untuk memperbaiki gaya belajar agar dapat meraih prestasi lebih baik kedepannya.
Pesan kepada orangtua adalah untuk mengajarkan anak-anak mereka untuk tidak mengandalkan cara-cara curang dalam meraih prestasi akademis. Menyadari bahwa nilai bukanlah segalanya.
Dalam pertemuan dengan siswa, pesan sederhana namun berharga seringkali saya menyampaikan ungkapan, "untuk apa nilai 100 tapi mencontek dan tak jujur? Lebih baik nilai 100 tapi dengan penuh kejujuran".
Dan saya yakin rekan-rekan guru pasti sepakat akan hal itu. Untuk itu, orangtua harus memahami orientasi yang harus dipilih, berorientasi pada proses adalah sesuatu yang baik.
Anak-anak kita perlu memahami bahwa kejujuran dan integritas merupakan aspek krusial dalam membentuk karakter dan kepercayaan diri yang mulia.
Melalui kolaborasi antara upaya guru di sekolah dan dukungan orangtua di rumah, semoga kita dapat membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga di-branding dengan integritas yang tinggi.Â
Harapannya, semoga kita dapat berkontribusi membangun fondasi yang kuat bagi masyarakat yang bersih dari korupsi, yang memiliki rasa tanggung jawab dan moral, serta mampu meraih keberhasilan dengan cara yang benar dan jujur.
Dengan tidak menyontek, siswa bisa belajar mengamalkan sebuah cara terpuji untuk mengasah karakter integritas demi mewujudkan kesadaran anti korupsi yang dibangun sejak dini.. Aamiin dan insya Allah..
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI