Dari orasinya itu aku mulai faham bahwa "Tidak ada yang tidak mungkin" itu bisa berlaku bagi Sang Gubernur, namun dari ceritanya, belum tentu bisa mengenai siapa saja. Bergantung ikhtiar yang kuat tanpa mengenal lelah dan tentu ada faktor keberuntungan juga dalam hidup ini. Itulah yang aku tangkap dari orasinya.
Sebelum membahas lebih jauh, alangkah baiknya aku memberikan rangkuman dari orasi Sang Gubernur saat memberikan pembekalan di hari pertama PKKMB Untirta 11 Agustus 2025.
Setelah itu baru masuk pada ulasan mengapa "Tidak ada yang tidak mungkin" bagi Andra Soni yang bisa jadi cerita inspiratif penyemangat bagi siapa saja yang merasa tidak beruntung hari ini, agar terus berikhtiar tanpa henti hingga kesuksesan itu akhirnya datang dengan segala lika-likunya.
Tidak Ada yang Tidak Mungkin bagi Andra Soni
Di hadapan ribuan mahasiswa baru Untirta, Gubernur Banten, Andra Soni, berdiri dengan penuh semangat. Wajahnya menyiratkan kebanggaan sekaligus kerendahan hati saat menyambut para generasi muda yang akan mengisi masa depan bangsa.
Dalam sambutan orasinya, ia tak sekadar memberikan ucapan selamat datang kepada seluruh mahasiswa baru yang diterima di Untirta sebanyak 9.000 pada tahun ajaran 2025/2026, tetapi juga membagikan kisah hidupnya yang penuh inspiratif, sebuah perjalanan panjang dari keterbatasan hingga menapaki karier di dunia pemerintahan sebagai seorang gubernur.
Andra Soni mengawali ceritanya dari masa remajanya yang kurang lebih masih identik dengan yang dialami mahasiswa sekarang. Bedanya, setelah lulus SLTA pada tahun 1995, ia tak langsung melanjutkan kuliah. Keterbatasan ekonomi keluarga membuatnya harus menunda mimpinya untuk langsung kuliah. Ia bahkan harus rela bekerja sebagai kuli bangunan selama enam bulan, menerima upah harian sebesar Rp10.000. Uang itu kemudian ia kumpulkan sedikit demi sedikit hingga pada tahun 1996 ia mampu mendaftar kuliah Diploma 3 di bidang ekonomi.
Pilihan jurusan ini pun diambil bukan karena minat semata, tetapi demi peluang kerja yang lebih cepat, meski di hati kecilnya waktu itu ia memendam cita-citaenjadi pengacara atau wartawan.
Perjalanan kuliahnya pun diakui tak berjalan mulus. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada akhir 1990-an memaksanya mengambil cuti karena tak mampu membayar biaya kuliah.
Ia kemudian bekerja sebagai messenger, mengantar surat dan paket kecil keliling Jakarta dengan sepeda motor. Sambil bekerja, ia melanjutkan kuliah, meski harus sering bolak-balik mengulang mata kuliah akibat jadwal kerja yang padat. Alhasil, ia sampai membutuhkan waktu lima tahun untuk menyelesaikan program Diploma 3.
Meski perjuangan itu berat, momen wisuda dan menyandang gelar Sarjana Muda menjadi kebanggaan besar bagi keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Ia mengenang saat-saat dirinya menjadi orang pertama di kampungnya yang berhasil mengenakan toga, dan hal itu menjadi motivasi bagi kerabat dan tetangganya untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi.