Bayang di Ujung Pena
Penulis : Sri Sembadra Alya
Di sudut sepi sebuah pagi,
dalam lengang kata yang tak sempat diucapkan,
tinggalah jejak pena yang menolak padam.
Martinus Dwianto Setiawan,
namamu tertulis bukan di atas batu,
melainkan dalam getar kalimat yang kami kenang,
pada lembar-lembar sunyi yang kau sulap jadi kehidupan.
Engkau tak pernah menulis untuk dibaca,
engkau menulis untuk menghidupkan,
membangkitkan makna dari reruntuhan,
dan menjahit luka bangsa dengan benang sejarah dan harapan.
Bukan pahlawan dengan pedang,
tapi pejuang sunyi dalam hening meja kerja
dengan lampu kecil dan gelas kopi dingin.
Suaramu tak lantang,
tapi tajam dalam tafsir budaya, politk, juga manusia.
Engkau paham bahwa menulis adalah tindakan.
Adalah bentuk kasih yang membebaskan,
tidak berteriak,
tapi menusuk lembut ke dasar jiwa.
Ketika tubuh berpulang,
Kata-katamu tetap berjalan.
Kami yang ditinggalkan,
bukan hanya kehilangan seorang penulis,
melainkan hilangnya mata air refleksi.
Kini kami harus menggali kembali
Pada lorong-lorong tulisanmu,
Pada jejak di kolom, di makalah, di buku-buku tua,
mencari dirimu dalam setiap baris yang mengendap.
Martinus, kau menulis bukan demi pujian,
bukan pula untuk kekuasaan.
Kau menulis karena kau percaya:
bahwa bangsa ini tak bisa hidup hanya dari jargon dan berita,
melainkan dari pemikiran yang jujur dan tahan uji.
Kau pernah menulis:
"Jika bangsa ini kehilangan intelektualnya,
Ia akan kehilangan arah."
Dan kami paham,
mengapa setiap goresanmu adalah pelita,
menuntun dalam gelap,
tanpa pernah meminta tepuk tangan.
Kini kau diam
tapi gema pikiranmu tak ikut padam.
Kami yang tertinggal,
harus lebih rajin membaca,
lebih berani bertanya,
lebih jujur menulis,
dan lebih sabar memahami.
Pena itu kini tak lagi di genggamanmu,
tapi kami akan terus menyalin semangatnya,
melanjutkan catatan
Yang belum sempat kau tuliskan.
Martinus Dwianto Setiawan,
engkau telah pergi,
tapi engkau tinggal bersama kami
dalam kata-kata yang hidup.
Tulungagung Agustus 2025