Ibuku pergi
seperti daun yang tahu waktunya jatuh.
Tak ada tangis, hanya langit yang gelap lebih lama dari biasanya.
Sejak saat itu, aku tahu:
kehilangan bukan soal siapa yang tiada,
tapi tentang suara yang tak lagi bisa kita dengar
dalam ruang paling sunyi bernama dada.
Negeriku,
aku mencintaimu sebagaimana
seorang buta mencintai matahari:
bukan karena melihatmu,
tapi karena hangatmu pernah menyelamatkanku dari beku.
Namun kau lebih sering menikamku
dengan birokrasi, tipu daya, dan janji manis yang berubah jadi lumpur.
Kau jadikan kami rakyatmu
sebagai kayu bakar dari pesta-pesta kekuasaan.
Dan aku menulis puisi
agar luka kami tidak punah dalam warta palsu.
Aku tua
tanpa pernah benar-benar menjadi tua.
Rambutku memutih,
tapi rinduku pada kebenaran tak pernah keriput.
Dulu mereka memanggilku guru,
sekarang mereka memanggilku "mantan".
Tapi tak apa.
Sebab aku masih punya pena,
dan pena tak pernah pensiun menulis kebenaran.
Bila kau tanya aku:
apakah hidup ini indah?
Akan kujawab:
hidup ini seperti air hujan pertama
yang turun ke tanah gersang,
ia menyakitkan akar-akar kering,
tapi menumbuhkan bunga yang tak bisa dijelaskan oleh sains.
Aku tak ingin dikenang sebagai pahlawan,
tidak pula sebagai tokoh agung di buku sejarah.
Cukuplah bila satu anak muda
di suatu malam sunyi
membaca bait puisiku dan berkata:
> "Aku tidak sendiri. Aku juga pernah luka. Tapi aku tak menyerah."
Dan jika kelak aku mati,
tolong jangan dirayakan.
Cukup kuburkan aku di tanah kecil,
tanpa batu nisan,
tanpa pidato palsu,
cukup taburkan satu puisi
dan satu doa:
"Ia pernah hidup dalam sunyi, dan menjadikan sunyi itu terang bagi yang lain."
> "Karena hidup bukan tentang dikenang banyak orang,
tapi tentang menyentuh satu jiwa yang nyaris hilang."
--- Martinus Dwianto Setiawan.
Sumatera Barat,2025